Tarjih pendapat
Pendapat yang dikuatkan oleh tiga ulama besar abad ini, yaitu Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syekh Abdul Aziz bin Baz dan Syekh Al-Albani rahimahumullah adalah pendapat kedua. Bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu sama sekali, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat.
Karena dalil-dalil tentang praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak membatalkan wudhu ketika menyentuh wanita. Dan sebaik-baik petunjuk dalam memahami ayat adalah petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Di antaranya hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha,
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قَبَّل امرأةً من نسائِه، ثمَّ خرج إلى الصَّلاةِ ولم يتوضَّأ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencium salah seorang istrinya (yaitu Aisyah sendiri), kemudian beliau keluar untuk salat dan tidak berwudu lagi.” (HR. Abu Daud no. 179, At-Tirmidzi no. 86, Ibnu Majah no. 502, Ahmad [6: 210], disahihkan oleh Ahmad Syakir dalam Takhrij Al-Musnad [1: 515] dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)
Baca Juga:Airlangga: TNI-Polri memiliki peran luar biasa dalam penanggulangan Covid-197 Amalan yang Pahalanya Terus Mengalir
Hadis ini adalah dalil kuat bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudu. Sekaligus juga dalil kuat bahwa menyentuh dengan syahwat pun tidak membatalkan wudu karena umumnya ciuman itu disertai syahwat.
Dalil yang lain, dari Aisyah radhiallahu ‘anha,
كنتُ أنام بين يَدَي رسولِ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ورِجلاي في قِبلَتِه، فإذا سجَد غمَزَني، فقبضتُ رِجلي، فإذا قام بسطتُهما، قالت: والبيوتُ يومئذٍ ليس فيها مصابيحُ
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kedua kakiku berada di arah kiblat beliau. Ketika Rasulullah sujud, beliau memijat kakiku (untuk memberi isyarat). Maka, aku pun menekuk kakiku. Ketika Rasulullah berdiri, aku luruskan kembali. Dan rumah kami ketika itu tidak ada lampu.” (HR. Bukhari no. 382, Muslim no. 512)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyentuh kaki Aisyah ketika sedang salat dan Rasulullah tidak membatalkan salatnya.
Kata ghamaza (غمز) dalam hadis ini memang bisa bermakna “isyarat dengan tangan”. Sehingga tidak tegas menjelaskan adanya sentuhan kulit atau sentuhan tersebut terhalangi penghalang. Ibnu Atsir rahimahullah dalam An-Nihayah menjelaskan,
وبعضهم فسر ” الغمز ” في بعض الأحاديث بالإشارة ، كالرمز بالعين أو الحاجب أو اليد
“Sebagian ulama menafsirkan al-ghamz di sebagian hadis dengan makna isyarat atau kode menggunakan mata, gerakan kening atau tangan.” (An-Nihayah, 3: 386)
Namun, kata ghamaza pada asalnya bermakna “memijat dengan tangan”. Di antaranya dalam hadis tentang mandi junub,
قال لها : اغمزي قرونك
“Nabi bersabda, ‘Ighmazi (peraslah) jalinan rambutmu.’”
Ibnu Atsir rahimahullah menjelaskan,
أي اكبسي ضفائر شعرك عند الغسل : والغمز : العصر والكبس باليد
“Maksudnya adalah tekanlah jalinan rambutmu ketika mandi. Al-ghamz artinya ‘memeras dan menekan (baca: memijat) menggunakan tangan’” (An-Nihayah, 3: 386)