SUMEDANGEKSPRES.COM, Kota – Bukti legalitas kepemilikan lahan lokasi wisata pemandian Cipanas di Desa Sekarwangi, Kecamatan Conggeang, dipertanyakan.wisata
Pasalnya, lokasi tersebut telah diklaim secara sepihak kepemilikannya oleh Disparbudpora Kabupaten Sumedang.
Kasus tersebut mencuat setelah pihak Disparbudpora Sumedang diketahui oleh warga meminta dibuatkan warkah (berkas-berkas yang digunakan sebagai dasar dalam penerbitan sertifikat tanah) atas lahan tersebut.
Baca Juga:Dampak Pembangunan Tol Cisumdawu 12 Rumah terisolirInflasi Indonesia Terkendali Rendah dan Stabil, Menko Airlangga: Komitmen dan Startegi Harus Diperkuat
Sementara, pihak Disparbudpora Sumedang sendiri tidak dapat menunjukan dasar-dasar atau bukti-bukti warkah sebagai salah satu syarat dalam penerbitan kepemilikan sertifikat tanah.
“Itu bukan kewenangan saya untuk menyampaikan bahwa itu milik Pemerintah Daerah atau tidak,” kata Kadisparbudpora Kabupaten Sumedng, Bambang Rianto, Selasa (4/1).
Menurutnya, yang berhak menyampaikan soal itu adalah kewenangan Kepala Badan Pengelola Keuangan da Aset Daerah (BPKAD) Sumedang.
“Karena di bawah BPKAD terdapat inventarisir tanah – tanah mana yang milik Pemda dan mana yang bukan,” ucapnya.
Di lain pihak, lahan tersebut diklaim juga oleh warga Desa Sekarwangi. Lahan tersebut diyakini merupakan peninggalan dari leluhurnya.
Kepala Desa Sekarwangi Ade Nanan membenarkan atas mencuatnya kasus tersebut. Hal itu, lanjut Ade, adalah murni dari aspirasi masyarakat.
“Itu datang dari aspirasi-aspirasi masyarakat, saya juga tidak tahu siapa yang memasang tulisan itu,” ungkap Ade Senin (3/1).
Baca Juga:Dituding Kriminalisasi Soal Kasus Habib Bahar, Ini Kata Mabes PolriObbie Messakh Ajak Milenial Sumedang Berkarya Melalui Musik
Terkait hal itu, kata Ade, pihaknya selaku Kepala Desa hanya bisa menjembatani kedua belah pihak antara Disparbudpora dan warga.
“Saya selaku kepala desa bersikap netral, siapa saja yang bisa menunjukan bukti legalitas kepemilikan maka dia yang berhak,” ucapnya.
Disinggung soal status kepemilikan lahan sebelum kasus ini mencuat, dikatakan Ade, berdasarkan keterangan dari warga, lahan tersebut secara silsilah merupakan lahan peninggalan leluhur. Namun, lahan tersebut sempat dirampas saat masa pendudukan Jepang.
“Kalau dari awalnya itu tanah milik (pribadi), cuma saat zaman Jepang diminta paksa, begitu saat ditanya ke warga,” kata Ade.
Kendati demikian, tambah Ade, pihak warga tidak keberatan bahkan mendukung jika tanah tersebut dijadikan sebagai aset desa.
“Harapan warga sih silahkan kalau lahan itu dijadikan sebagai aset desa,” ujarnua.