PSI Nilai Tak Efektif Pisahkan Penumpang Wanita dan Pria
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, Eneng Malianasari menyebut rencana kebijakan pemisahan penumpang pria dan wanita di angkutan kota (angkot) tak efektif.
Ia menyebut wacana kebijakan pemisah penumpang pria dan wanita ini tak berdampak panjang, atau hanya berdampak untuk jangka pendek saja.
“Kebijakan tersebut tidak efektif, hanya sebagai solusi jangka pendek dan tidak berkepanjangan, belum lagi Dishub tidak memikirkan ruang angkot yang sempit untuk membagi hal tersebut, berbeda dengan TransJakarta atau commuter line yang memiliki ruang luas,” ucapnya dalam keterangan tertulis yang dikutip TribunJakarta.com, Selasa (12/7/2022).
Baca Juga:Suami Jual Istri Kepada Lelaki Hidung Belang Karena Tak Punya PekerjaanSebut Kabar Rezky Aditya Bukan Ayah Biologis Kekey Hoaks, Wenny Ariani Tetap Pegang Putusan PT Banten
Padahal wacana kebijakan ini berencana dikeluarkan pihak Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Perhubungan DKI Jakarta untuk mengantisipasi kasus pelecehan seksual di angkot yang belakangan marak terjadi.
Sayangnya, politisi PSI ini menilai hal ini bukan hanya soal implementasi dari kebijakan tersebut, tapi bagaimana pengawasan dan penertiban yang dilakukan aparat penegak hukum agar tidak terulang lagi kejadian pelecehan, terutama di dalam angkot.
“Pemerintah bersama semua stakeholder baik itu institusi Komnas HAM, Komnas Anak dan Perempuan, juga LSM lainnya untuk duduk bersama membahas strategi berkepanjangan agar tidak lagi terjadi pelecehan di transportasi umum, terutama angkot. Dengan duduk bersama, diharap melahirkan solusi jitu menanggulangi hal tercela tersebut terjadi lagi,” lanjutnya.
Berangkat dari hal ini, ia menyarankan agar pemerintah turut merumuskan sistem untuk menciptakan rasa aman dan kenyamanan warga saat berada dalam transportasi umum.
“Menurut Amnesty International bahwa pelecehan dan kekerasan seksual termasuk kasus HAM berat. Jadi tindakan kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual harus ditangani secara sistematis terorganisir agar bisa memutus mata rantai dan selanjutnya mencegah terjadinya kembali pelecehan seksual.
Kewajiban masyarakat melaporkan pelaku pelecehan seksual juga telah diatur secara hukum. Dalam UU no. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang sudah disahkan pada tanggal 12 April 2022 lalu” jelasnya.
“Aparat penegak hukum juga diminta untuk memberi hukuman seberat-beratnya pada pelaku pelecehan atau kekerasan seksual sesuai dengan undang-undang yang berlaku,” pungkasnya.