sumedangekspres – Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, telah membentuk tim investigasi untuk menyelidiki permasalahan dan polemik yang terkait dengan kegiatan dan pengajaran di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Zaytun, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Ridwan Kamil menjelaskan bahwa tim investigasi tersebut terdiri dari aparat penegak hukum, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan unsur birokrasi dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Dia menekankan bahwa tim ini akan bekerja dengan hati-hati, adil, dan berdasarkan fakta yang terkonfirmasi.
Baca Juga:Stasiun Kereta Api Di Bandung Kualitas Bikin Nyaman Coba Deh VisitDiet Tapi Dapat Pahala Puasa Sunnah Syawal Menyehatkan
Tim investigasi ini akan mulai bekerja pada tanggal 20 Juni 2023 selama tujuh hari ke depan.
Tujuan dari pembentukan tim ini adalah untuk merespons kekhawatiran masyarakat dan mengumpulkan data serta fakta yang lengkap terkait dengan Ponpes Al-Zaytun.
Ridwan Kamil meminta Ponpes Al-Zaytun untuk bersikap kooperatif dan menerima kehadiran tim investigasi.
Dia menyebut bahwa Ponpes Al-Zaytun telah menolak beberapa kali konfirmasi dari pihak lain.
Oleh karena itu, saat ini pihaknya belum dapat mengambil keputusan atau tindakan apapun sampai hasil pemeriksaan dari tim investigasi tersebut diperoleh.
Dalam hasil Bahtsul Masail resmi, disepakati bahwa Ma’had Al-Zaytun menyimpang dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
Pandangan ini didasarkan pada penafsiran pihak Al-Zaytun dalam pelaksanaan shalat berjarak yang mengacu pada QS Al Mujadalah ayat 11, yang dipertanyakan apakah dapat dikategorikan sebagai menyimpang dari ajaran Aswaja.
Baca Juga:Kalender dan Penjelasan Puasa Sunnah 2023Love Language Cara Ngadepin Pacar Yang POSESIF
LBMNU (Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama) berpendapat bahwa penyimpangan tersebut terjadi karena beberapa alasan.
Makna “Tafassahu” dalam ayat tersebut tidak memerintahkan untuk menjaga jarak dalam barisan shalat, namun hanya mengenai merenggangkan tempat untuk mempersilahkan orang lain menempati majlis agar dapat duduk.
Hal ini bertentangan dengan hadits shahih yang secara tegas menganjurkan untuk merapatkan barisan shalat.
Selain itu juga bertentangan dengan ijma ulama tentang anjuran untuk merapatkan barisan shalat.
Namun, ada juga argumen yang berpendapat bahwa langkah tersebut sesuai dengan pandangan Bung Karno dalam menempatkan posisi perempuan dan non-Muslim di antara jamaah shalat yang mayoritas laki-laki, dan hal ini sesuai dengan ajaran Aswaja.