sumedangekspres – Engkus Kusnadi (69 tahun), seorang warga di lingkungan Warga Mulia RT 21 RW 10 Kelurahan Purwaharja, Kecamatan Purwaharja, Kota Banjar, Jawa Barat, tidak pernah merasakan manfaat dari pemerataan pembangunan jaringan listrik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Padahal, pemerintah pusat telah giat dalam pembangunan tersebut agar seluruh masyarakat Indonesia, termasuk dia, bisa menikmati jaringan listrik PLN.
Bahkan untuk keluarga pra sejahtera (miskin), pemerintah memberikan listrik secara cuma-cuma atau gratis. Selain itu, untuk pembayarannya, warga yang kurang mampu juga diberikan subsidi.
Baca Juga:Serikat Buruh Siap Unjuk Rasa, Desak Batalkan Program TaperaPDI Perjuangan Sedang Merumuskan Sejumlah Nama Untuk Pemilihan Gubernur Jawa Barat
Namun, hal tersebut jauh berbeda dengan pengalaman yang dialami Engkus. Bagi pengayuh becak ini, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya berlaku bagi orang-orang yang beruntung saja. Baginya, itu hanyalah kabar angin belaka.
Pria paruh baya ini telah hidup di pinggiran hutan tanpa listrik selama lebih dari sepuluh tahun. Dalam kegelapan gubuk sempit yang hanya berukuran sekitar 3×3 meter, ia mengandalkan lampu cempor yang dinyalakan dengan minyak tanah sebagai sumber penerangan setiap malam.
Selain tidak menikmati listrik selama belasan tahun, Engkus dan keluarganya juga tidak memiliki sumber air bersih yang layak untuk diminum. Bahkan untuk kebutuhan air sehari-hari, mereka hanya mengandalkan air kolam yang keruh.
Engkus menjelaskan bahwa mereka tinggal di gubuk tersebut selama 15 tahun karena tidak memiliki rumah dan tanah sendiri. Sayangnya, Pemerintah setempat terlihat mengabaikan kondisi prihatin yang mereka alami.
Setiap bulan, Engkus hanya menerima bantuan beras dari pemerintah, yang hanya cukup untuk beberapa hari konsumsi saja.
Kemiskinan mereka tidak bisa ditutup-tutupi hanya dengan bantuan sekarung beras.
“Untuk penerangan malam hari, kami hanya mengandalkan lilin, kadang pakai lampu tradisional dengan bahan bakar minyak tanah. Kalau untuk kebutuhan air, kami mengambil dari empang (kolam),” kata Engkus pada hari Kamis, tanggal 20 Juni.
Engkus menjelaskan bahwa penghasilannya dari menarik becak dan bertani tidak mencukupi untuk membeli setapak tanah guna membangun rumah. Selain itu, ia juga merasa bahwa ekonomi tidak pernah mendukung keluarga kecilnya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.