mendapat cerita lucu dari Pak Mujur, seorang orang tua siswa.
Beberapa tahun lalu, anaknya mendaftar ke SMA Negeri favorit di Kota Tasikmalaya dan diterima.
Namun, Pak Mujur kaget saat mendapat undangan dari panitia PPDB sekolah tersebut.
Saat itu, puluhan orang tua siswa dikumpulkan di ruang kelas.
Seorang panitia PPDB mengumumkan bahwa anak-anak mereka masih punya kesempatan diterima di sekolah favorit asal menyiapkan uang sekitar Rp 15 juta.
Baca Juga:PPDB Kota Tasikmalaya Menggunakan Sistem Zonasi, Menurut Kalian Ideal Gak?Rasakan Sensasi Komik Favorit Buruan Download Mangatoon APK
Pak Mujur, yang anaknya sudah diterima, bertanya apakah ia juga harus membayar.
Panitia yang keceplosan menyebut angka Rp 15 juta langsung kaget dan memucat. Ternyata, ia salah mengundang orang tua siswa.
Realitas Sistem Zonasi PPDB
Kisah lucu semacam ini terus terulang setiap tahun sejak sistem zonasi PPDB diterapkan.
Bahkan, seorang pejabat di Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya lebih memilih memasukkan anaknya ke pesantren daripada harus berurusan dengan sistem zonasi yang rumit dan penuh kecurangan.
Sistem zonasi PPDB seringkali menjadi lahan panen uang bagi oknum-oknum tertentu.
Tarif masuk sekolah favorit melalui jalur belakang bisa mencapai Rp 20 juta tahun ini.
Orang tua yang rumahnya jauh dari sekolah favorit dan tidak punya uang atau jabatan seringkali kebingungan.
Baca Juga:Sudah Coba? Komik Favorit di Mangatoon APK!Baca Komik dan Novel Sweety Curing Blood Tanpa Iklan di Mangatoon APK!
Keluhan Orang Tua
Banyak orang tua mengeluhkan jarak zonasi yang tidak masuk akal.
Seperti Ogi Hakiki, warga Perum Baitul Marhamah 1 Sambongjaya, yang anaknya tidak bisa masuk SMA Negeri 8 karena jarak rumah ke sekolah melebihi 50 meter dari batas zonasi.
Keluhan serupa disampaikan oleh Iwa Kartiwa dan Yosep yang juga tinggal di perumahan yang sama.
Mereka harus memutar otak mencari sekolah lain untuk anak-anak mereka.
Sistem zonasi PPDB di Kota Tasikmalaya memang penuh cerita lucu dan ironis.
Mulai dari orang tua yang mengakali jarak dengan nebeng KK, hingga panitia PPDB yang keceplosan menyebut tarif masuk sekolah.
Selama sistem ini masih berlaku, kisah-kisah semacam ini mungkin akan terus muncul setiap tahunnya.