Penertiban PKL Dadaha Gagal, Satpol PP Jadi Sorotan

Penertiban PKL Dadaha Gagal, Satpol PP Jadi Sorotan
Penertiban PKL Dadaha Gagal, Satpol PP Jadi Sorotan (ist)
0 Komentar

sumedangekspres – Penertiban PKL Dadaha Gagal, Satpol PP Jadi Sorotan.

Penertiban terhadap para pedagang kaki lima (PKL) di Dadaha oleh petugas Satpol PP pada Sabtu (20/7/2024) sore dianggap salah sasaran. Forum Koordinasi Pengelolaan Dadaha Tasikmalaya (Forkopdatas) menyatakan bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas kemacetan dan hilangnya estetika di Dadaha.

Ade Cundiana, atau yang lebih dikenal dengan nama Acun, Ketua Forkopdatas, menekankan bahwa kemacetan hanya terjadi seminggu sekali, yaitu pada Sabtu malam dan hari Minggu, di mana banyak pedagang lain juga turut meramaikan pasar kaget atau Pasar Kojengkang. Menurut Acun, tidak adil jika PKL Dadaha dijadikan kambing hitam atas kemacetan tersebut.

“Kalau yang paling padat di wilayah Dadaha itu memang malam Minggu. Kalau Minggu, kemacetan terjadi karena Kojengkang. Pada hari Sabtu, tidak ada kemacetan. Jadi, orang sering menyebut Dadaha macet karena adanya Kojengkang,” jelas Acun kepada Radar pada Minggu, 21 Juli 2024.

Baca Juga:Pedagang Kaki Lima Serbu UPTD Dadaha: Menuntut Kepastian Izin Jualan di TrotoarBuya Yahya: Harus Cerdas, Jangan Mengolok-olok NU Karena Tindakan Oknum

Akibat penertiban oleh Satpol PP, para pedagang merasa berjualan di bawah tekanan. Aktivitas mereka diawasi ketat oleh anggota Satpol PP dan Dinas Perhubungan, dengan batas waktu berjualan hingga jam 4 sore pada hari Minggu. Acun merasa penertiban ini salah sasaran karena sebenarnya kemacetan yang terjadi disebabkan oleh Pasar Kojengkang, bukan oleh Forkopdatas.

Desi, seorang pedagang sayuran yang biasa berjualan setiap Minggu pagi, mengaku cemas dan heran dengan tindakan petugas. “Kemarin saya tanya kepada bapak berseragam coklat, kenapa di sini tidak boleh jualan? Dari dulu boleh kok, cuman tempatnya pindah-pindah,” ujarnya kepada Radar.

Desi merasa khawatir jika tidak lagi diperbolehkan berjualan di trotoar Dadaha, terutama karena ia hanya berjualan seminggu sekali ketika pengunjung ramai. “Seenggaknya ini untuk rakyat kecil. Seminggu sekali, kenapa tidak boleh? Kalau orang berpunya, jualannya tidak akan di sini karena kebutuhan,” keluhnya.

Desi juga mengungkapkan bahwa setiap kali berjualan di trotoar Dadaha pada Minggu pagi, ia harus membayar iuran sebesar Rp 10.000 untuk keamanan, kebersihan, dan kontribusi lainnya. Menurutnya, aneh jika setelah membayar iuran, mereka masih diusir oleh petugas.

0 Komentar