sumedangekspres – Sidang PK atau sidang lanjutan Peninjauan Kembali Saka Tatal masih terus bergulir.
Sidang ini di gelar di Pengadilan Negeri Kota Cirebon dengan agenda pemeriksaan saksi dan digelar Rabu, 31 Juli 2024 kemarin.
Sidang ini juga menghadirkan beberapa saksi ahli dari tim kuasa hukum Saka Tatal, diantaranya mantan Kabareskrim Polri Komjen Pol (Purn) Drs H Susno Duadji, Yongki Fernando, Reza Indragiri, dr Azmi dan dr Budi Suhendar.
Baca Juga:Lagi-lagi Jimin BTS Buat Prestasi, Lagu 'Who' Berhasil Duduki Peringkat Pertama!YG Entertainment Akhirnya Rilis Teaser Comeback 2NE1 dan Berhasil bikin Penggemar Penasaran
Artikel ini telah terbit di Radar Cirebon dengan judul Jadi Saksi Ahli di Sidang PK Saka Tatal, Begini Pandangan Reza Indragiri Soal Kasus Pembunuhan Vina dan Eky
Selain menghadirkan saksi ahli, persidangan tersebut juga melibatkan dua saksi fakta, yaitu mantan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, dan Teguh.
Di antara saksi ahli yang dihadirkan adalah Reza Indragiri, seorang ahli Psikologi Forensik.
Dalam persidangan, Reza mengungkapkan bahwa berdasarkan berkas yang pernah ia baca, kasus ini tampaknya merupakan contoh dari pengungkapan yang terlalu bergantung pada keterangan saksi, termasuk keterangan tersangka, tanpa mempertimbangkan bukti ilmiah.
Reza memberikan contoh terkait narasi mengenai dugaan perkosaan terhadap almarhumah Vina.
Ia menjelaskan, “Saya ingin membahas mengenai sperma, bukan objek sperma itu sendiri, tetapi latar belakang psikologis kemunculan sperma tersebut.”
Ia menegaskan bahwa sperma tidak bisa serta-merta disimpulkan sebagai bukti terjadinya pemerkosaan. Dari sudut pandang psikologi forensik, hal tersebut tidak memadai untuk membuktikan kekerasan seksual.
Menurut Reza, keberadaan sperma dapat dilatarbelakangi oleh dua kondisi psikologis.
Baca Juga:Totalitas Banget, Jo Jung Suk Jadi Perempuan di Drakor Terbaru yang Dibintanginya yang Berjudul PilotBuat Para ARMYSiap-siap Nih, Kabarnya Jimin BTS Akan Merilis Lagu Kedua Pada Album Keduanya dalam Versi Beda
Pertama, jika sperma muncul setelah aktivitas seksual yang dipaksakan, maka sperma tersebut dapat dijadikan bukti kejahatan seksual.
Kedua, jika sperma merupakan hasil dari aktivitas seksual yang dilakukan dengan persetujuan, maka sperma tersebut tidak dapat dijadikan bukti kekerasan seksual.
Ia menyatakan bahwa dari berkas yang dibacanya, tidak ditemukan informasi mengenai latar belakang psikologis sebelum keluarnya sperma tersebut.
Reza juga menyarankan agar untuk mengungkap peristiwa yang terjadi pada tahun 2016, dihadirkan bukti komunikasi elektronik dari para terpidana dan kedua korban.
Ia menekankan pentingnya bukti elektronik yang rinci, seperti informasi mengenai siapa yang berkomunikasi dengan siapa, tentang apa, dan pada waktu tertentu, untuk mengetahui apakah para tersangka benar-benar merencanakan pembunuhan atau tidak.