sumedangekspres, KOTA – Koordinator Jaringan Lembaga Study Visi Nusantara Sumedang Dodi Partawijaya mengatakan sejumlah gangguan diterima bagi para pemilih terhadap hak memilih (voter suppression) saat dimulainya kontestasi pilkada. Menurutnya, ada tiga kategori gangguan bagi pemilih. Pertama yakni, diskriminasi dalam regulasi kepada para pemilih.
“Kepemilikan KTP elektronik sebagai syarat pemilih. Kita bisa simpulkan dari putusan MK bahwa kepemilikan KTP elektronik adalah syarat mutlak, syarat administrasi seseorang untuk bisa memilih, penggantinya hanyalah suket,” kata Dodi, Kamis (15/8).
Dikatakan, ada potensi seseorang mengalami gangguan hak pilih secara sistem karena tidak tercatat dalam KTP elektronik yang bisa dialami oleh masyarakat adat atau transperempuan.
Baca Juga:Rapat Paripurna Penandatanganan Bersama DPRD Jawa Barat dan Pemprov Jabar atas Perubahan KUA PPAS 2024Hari Jadi ke-79 Provinsi Jabar Semakin Dekat, DPRD Provinsi Jawa Barat Bakal Gelar Rapat Paripurna
Selain itu, lanjut dia, terkait gangguan regulasi lainnya yaitu persyaratan bagi pemilih yang alami gangguan jiwa maupun ingatannya sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih. Dan keterbatasan pengaturan pindah memilih dan metode pemungutan suara khusus.
Kemudian, kata dia, kategori kedua yaitu intimidasi dan pengusikan bagi hak memilih. Kalau hak ini kerap diterima kelompok minoritas. Dengan pengaruh yang berkaitan terhadap kuasa untuk menekan seseorang agar memilih atau tidak memilih.
“Kalau di pemilu 2019 kami menemukan isu-isu agama, isu etnis sering dimainkan. Dan dianggap sebagai faktor yang penting dalam pemilu karena bisa menentukan kemenangan,” katanya.
Disebutkan, intimidasi juga ditemukan terhadap para pekerja pabrik yang turut tidak hanya mendapat ancaman fisik, tetapi juga mendapat ancaman ekonomi. Seperti ancaman penghilangan pekerjaan, penghasilan, atau shift kerja, atau kehilangan jabatan.
Kata dia, terkait pengusikan kepada hak memilih orang dengan gangguan jiwa, memiliki hubungan erat dengan pengaruh untuk mempertanyakan seseorang ketika memiliki gangguan jiwa, namun terdaftar sebagai pemilih.
“Tahun 2019 orang dengan gangguan jiwa sering di stigmatisasi. Dan, mungkin masih ingat yang satu paling mengemuka itu kita temukan di twitter. Ada cuitan di salah satu juru kampanye pasangan calon yang pengikutnya banyak, itu menyerang hak disabilitas atau hak disabilitas mental,” katanya.
Lalu kategori terakhir yakni pengacauan informasi pemilu, dengan memanfaatkan keterbatasan informasi bagi kelompok rentan. Sehingga, bisa dimasukan dengan informasi palsu. Alhasil terjadi disinformasi yang diterima kelompok rentan untuk mendelegitimasi proses pemilu.