Menurutnya, informasi yang biasa dikacaukan yaitu pengaburan informasi prosedur teknis kepemiluan berkaitan teknis pemberian suara, syarat dokumen yang harus dibawa untuk bisa memilih di TPS, waktu pemungutan suara itu juga sering dikaburkan informasinya, dan topik lain yang berkaitan dengan penyelenggara pemungutan suara.
“Bentuk disinformasi yang mendelegitimasi proses pemilu. Jadi disinformasi ini tidak hanya menyerang pemilih, tetapi disinformasi juga menyerang penyelenggara pemilu, menyerang proses pemilu,” katanya.
Alhasil, kata dia, akibat disinformasi yang diterima para pemilih bisa berdampak pada penyelenggara, yakni KPU maupun Bawaslu berkaitan dengan independensi dan potensi keberpihakan pada kandidat tertentu. Termasuk menyerang kredibilitas tahapan itu menyerang proses penyelenggaraan tahapan itu.
Baca Juga:Rapat Paripurna Penandatanganan Bersama DPRD Jawa Barat dan Pemprov Jabar atas Perubahan KUA PPAS 2024Hari Jadi ke-79 Provinsi Jabar Semakin Dekat, DPRD Provinsi Jawa Barat Bakal Gelar Rapat Paripurna
“Jadi disinformasi topiknya kecurangan-kecurangan yang sering dilakukan, kemudian ada intervensi asing terhadap penyelenggara tahapan dan diskriminasi hak pemilih,” katanya.
“Nah disinformasi ini sering disebarkan. Dan kategori disinformasi ini secara kuat menarasikan kalau penyelenggara pemilu tidak independen. Memenangkan pasangan calon partai politik tertentu dan secara signifikan itu bisa mengganggu kredibilitas KPU dan Bawaslu,” jelasnya.
Dodi berharap dengan adanya hasil riset ini para penyelenggara pemilu dapat bersiap-siap mengatasi gelombang gangguan kepada pemilih terhadap hak memilih (voter suppression), terkhusus pada Pilkada 2024 nanti. Kalau upaya- upaya untuk menghasilkan informasi sebenarnya tidak disiapkan dari sekarang, potensi masyarakat mendapatkan informasi yang simpang siur dan tidak komprehensif terkait dengan pemilihan kepala daerah 2024, sangat besar.
“Tentu yang akan dipercaya justru berita-berita bohong itu harus ditekan. Salah satu tantangannya kenapa berita bohong itu dipercaya, mungkin karena informasi yang sebenarnya tidak tersedia atau kalaupun tersedia sulit diakses oleh masyarakat secara umum,” pungkasnya. (bim)