sumedangekspres, CIMANGGUNG – Rencana pengambilan air permukaan dari hulu Sungai Citarik untuk kebutuhan operasional Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka yang berlokasi di Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung, menuai protes dari masyarakat.
Warga di Kampung Leuwiliang, Desa Tanjungwangi, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, serta warga Desa Sindulang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, secara tegas menolak rencana tersebut.
Alasan utama penolakan tersebut muncul karena kekhawatiran terhadap dampak pengambilan air permukaan bagi kehidupan sehari-hari warga dan lingkungan sekitarnya. Menurut Dedi Kurniawan, Koordinator Pusat Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I), pengambilan air ini dinilai akan memengaruhi pasokan air yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya petani yang mengandalkan air untuk mengairi sawah mereka.
Baca Juga:KUA Cimalaka Perketat Izin Dispensasi KawinPesan Menteri AHY: Kepemimpinan Transformasional dan Orkestrasi SDM Adalah Kunci Sukses Mencapai Pembangunan
“Penolakan kami jelas, karena pipanisasi ini akan berdampak pada kehidupan masyarakat serta mata pencaharian mereka,” tegas Dedi, baru-baru ini.
Isu lain yang mencuat adalah masalah perizinan. Dedi menyebutkan bahwa izin pengambilan air yang dilakukan untuk keperluan TPPAS Legok Nangka masih dipertanyakan. Menurutnya, proyek tersebut membutuhkan izin resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengingat pengelolaannya bersifat komersil.
“Kami mempertanyakan izin dari KLHK terkait pengambilan air ini. Harus jelas dan sesuai regulasi,” ungkapnya.
TPPAS Legok Nangka direncanakan akan melakukan pipanisasi air dengan panjang sekitar 30 kilometer. Pipa akan menyalurkan air dari hulu Sungai Citarik untuk kebutuhan operasional TPPAS.
Namun, warga menganggap bahwa rencana tersebut berpotensi merusak ekosistem serta menurunkan ketersediaan air bagi pertanian di kawasan bawah. Dedi menjelaskan lebih lanjut bahwa titik mata air yang akan diambil berada di dalam kawasan konservasi, khususnya di Taman Buru Masigit Kareumbi.
Meski penampungan air direncanakan berada di luar kawasan konservasi, sumber air tetap berasal dari area yang dijaga secara khusus.
“Ini bisa menimbulkan dampak besar bagi lingkungan, terutama pada kawasan konservasi yang memiliki fungsi penting bagi kelestarian alam,” tambahnya.
Baca Juga:Cincin Tak Bisa Dilepas, Damkar Tanjungsari Potong Menggunakan GerindaKlinik di Sumedang Bantu Ringankan Tugas RSUD
Selain itu, dampak sosial juga menjadi perhatian utama. Sebagian besar penduduk yang tinggal di wilayah bawah, terutama petani sawah, akan merasakan pengaruh langsung dari pengambilan air ini.