Jika ditelusuri salah satu akar persoalan etika, hal ini bukanhanya persoalan negara tetapi juga merupakan persoalanmasyarakat “negara fotokopi Masyarakat” sehingga kesalahansistem pembentukan karakter masyarakat menentukan sistembernegara yang ideal.
“Kalau kita gunakan cara pandang bahwa elite yg terpilih ituadalah representasi, pantulan dari warga kita. Maka yang harusnya diperbaiki adalah warga kita,” ujar Halili Hasan, Direktur Eksekutif Maarif Institute.
Satu contoh persoalan masyarakat yang determinan denganproblem kerapuhan etika adalah karena pola asuh yang memberikebebasan dan toleransi pada anak usia dini sehinggamenyebabkan anak menjadi minim tanggung jawab, egois, self sentris, permisif, mentalitas menerabas, tidak disiplin, meremehkan mutu (meritocracy), berwatak lemah, tidakberpendirian, boros, dan tidak mau bekerja keras.
Baca Juga:Berbagai Rekomendasi Film Kisah Cinta yang Menyentuh HatiMasih Menjadi Tanda Tanya Apakah CR7 akan Tampil Sebagai Karakter yang Bertarung? Fatal Fury City Of The Wolve
“(Pola asuh) itu tidak membentuk karakter, apalagi karaktertanggung jawab. Tanggung jawab adalah inti dari semuakarakter mulia. Orang yang bertanggung jawab tidak akanmelakukan korupsi, tidak akan lakukan pungli. Di masyarakatkita karakter tanggung jawab tidak ditanamkan,” ungkap TamrinAmal Tomagola, Sosiolog Universitas Indonesia.
Selain itu ditambah dengan orientasi budaya “shame culture”, sistem kekerabatan keluarga luas (extended kinship system), ketergantungan anak pada orang tua dalam pola tempat tinggalserta sistem komunal “Big man” (penghambaan terhadap salah satu tokoh keluarga).
Semua ini jika dibawa pada ranah kenegaraan menciptakankepatuhan buta. Hal ini berbeda dengan pola asuh masyarakatBarat dengan piramida terbalik yang melakukan pembatasan dan pengajaran secara ketat saat anak pada usia dini dan mandiri saatdewasa sehingga anak tumbuh dengan tanggung jawab dan menempatkan hak orang lain diatas haknya karena menyadaribahwa setiap individu memiliki kesamaan hak.
Jika dikorelasikan antara akar pola asuh yang membentukperilaku niretika dan kehidupan masyarakat luas, khususnyapara penyelenggara negara juga ketiadaan tauladan daripenyelenggara negara maka menjadi bola panas yang semakinmemperburuk situasi kerapuhan etika di seluruh elemen anakbangsa.
“Situasi kurang sensitivitas banyak dilakukan oleh penyelenggara negara,” ujar Zuly Qodir, Guru Besar SosiologiUniversitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Contoh lainnya, digitalisasi telah menciptakan masyarakat baru(nitizen) kerap kali menggunakan media sosial dengan tidakbijak dengan menyebarkan ujaran kebencian, hoaks, dan lain sebagainya.