Mereka juga cenderung tidak kritis dan tidak melakukanfilterisasi terhadap berita dan informasi sehingga menjadikomunitas yang memperburuk sistem bernegara yang beretika.
Padahal citizen Indonesia di lain pihak mempromosikan sikaptoleran seperti imam besar Masjid Istiqlal yang mencium kepalaPaus Fransiskus saat berkunjung ke masjid Istiqlal, Jakarta. Di sisi lain netizen justru menyebarkan berita hoaks yang sungguhkeji dan mencederai agama.
“Ini ada masalah pada media sosial. Di kalangan netizen, sayamelihat banyak pikiran busuk. (Tapi) Ini masalah netizen, bukanmasaah citizen. Kelihatannya citizen tidak bermasalah besar,” ujar Moch Qasim Mathar, Guru Besar UIN Alauddin Makassar.
Baca Juga:Berbagai Rekomendasi Film Kisah Cinta yang Menyentuh HatiMasih Menjadi Tanda Tanya Apakah CR7 akan Tampil Sebagai Karakter yang Bertarung? Fatal Fury City Of The Wolve
Di sisi lain, paradoks keagamaan sendiri juga memiliki banyakproblematika. Di antaranya paradoks Ketuhanan yang Maha Esa yang bersifat mandatory monotheism yang memformalisasikepercayaan dan mengklaster kepercayaan menjadi sebuahagama tertentu sehingga memaksa keseragaman dalamberagama.
Selain itu juga paradoks harmoni beragama yang tidak terciptakarena adanya pembatasan hak umat oleh negara karena faktorkeamanan dan ketenangan di masyarakat, hingga pengkelasandan favoritisasi dalam kehidupan beragama di Indonesia sehingga menyebabkan segregasi sosial yang berdampak baik di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Paradoks yang terakhir adalah paradoks ketidakselarasan antaraagama dengan perilaku niretika masyarakat beragama yang ternyata berbanding terbalik dengan praktik sarat etika pada negara yang justru sekuler.
“Paradoks negara beragama dan berketuhanan, ada korelasi yangsepertinya negatif antara kesejahteraan, kebahagiaan, sertakorupsi dengan keyakinan tentang pentingnya agama,” ujarAhmad Najib Burhani, Kepala Organisasi Riset IlmuPengetahuan Sosial Humaniora Badan Riset dan InovasiNasional (BRIN).
Di tengah segala problematika tersebut, yang paling destruktifadalah budaya Machiavelisme yang mengacu pada pandanganbahwa penguasa harus mengutamakan efektivitas dan pragmatisme daripada etika dan moralitas sehinggamenggunakan segala macam cara untuk mendapatkan kekuasaandan menabrak sendi-sendi moralitas.
Contoh jenis machiavelisme yaitu praktik korupsi, tidak adil, krisis moralitas, politisasi agama, erosi kepercayaan publik, rendahnya pengendalian diri, budaya transaksional dan rendahnya tanggung jawab.
“Ini satu penyakit dalam politik dan mengacu pada seseorangatau kelompok orang yang bersifat manipulatif, tidak etis, dan instrumental dalam hubungan antar pribadi. Jadi yang pentingadalah bagaiman mempertahankan kekuasaan,” tukas BudhyMunawar Rachman, pengajar di Sekolah Tinggi FilsafatDriyarkara.