Arab Saudi Nyatakan Penolakan Keras Relokasi Paksa Warga Palestina dari Gaza

Arab Saudi Nyatakan Penolakan Keras Relokasi Paksa Warga Palestina dari Gaza
Sekelompok simpatisan dari Aqsa Working Group menggelar aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Jumat (11/4/2025), sebagai bentuk kecaman terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina di Gaza. (SUMBER FOTO: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/Spt)
0 Komentar

SUMEDANG EKSPRES – Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, menegaskan penolakan keras negaranya terhadap segala bentuk pemindahan paksa warga Palestina dari Jalur Gaza, tanpa memandang alasan yang digunakan.

Dalam konferensi pers usai pertemuan Kelompok Kontak Gaza di sela-sela Forum Diplomasi Antalya di Turki, Pangeran Faisal menyatakan bahwa Arab Saudi menolak secara tegas segala upaya pemindahan warga Palestina dari Gaza, apa pun dalihnya.

“Kami dengan tegas menolak pemindahan warga Palestina dari Gaza dengan slogan apa pun,” ujar Pangeran Faisal.

Baca Juga:Presiden Prabowo Kritik Standar Ganda Negara Barat dalam Isu HAM PalestinaAWG Dukung Fatwa Jihad Bela Gaza, Desak Tindakan Konkret Pemerintah Indonesia

Ia juga mengkritik penyebutan rencana pemindahan sebagai “migrasi sukarela”, dan menyebut bahwa penggunaan istilah tersebut tidak dapat diterima, mengingat kondisi warga Gaza yang saat ini bahkan tidak memiliki kebutuhan hidup paling dasar.

“Pembicaraan tentang migrasi sukarela tidak dapat diterima ketika warga Palestina kehilangan kebutuhan hidup yang paling mendasar,” katanya.

Usulan kontroversial pernah datang dari Presiden AS Donald Trump, yang mengajukan ide relokasi 2,1 juta warga Palestina dari Gaza dan mengubah wilayah tersebut menjadi kawasan wisata “Riviera”.

Dalam pernyataannya, Pangeran Faisal juga mendesak agar segera dilakukan gencatan senjata di Gaza, serta menekankan pentingnya menjamin distribusi bantuan kemanusiaan tanpa hambatan ke wilayah yang terkepung itu.

Serangan Israel ke Gaza yang kembali terjadi pada 18 Maret telah mengakhiri kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang dicapai pada 19 Januari. Sejak konflik dimulai pada 7 Oktober 2023, lebih dari 50.800 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak, telah kehilangan nyawa, sementara infrastruktur Gaza hancur dan membuat wilayah itu nyaris tak layak huni.

Sementara itu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada November lalu mengeluarkan surat penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga sedang menghadapi tuduhan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait serangannya di wilayah tersebut.*

SUMBER: ANTARA

0 Komentar