Para pakar memprediksi bahwa kehadiran konten-konten semacam ini telah mengubah persepsi publik dan memengaruhi perilaku pemilih. Hal ini tentu mengkhawatirkan, mengingat pemilu menentukan pemimpin yang akan merancang regulasi dan kebijakan bagi masyarakat.
Selain dalam konteks politik, deepfake juga menjadi ancaman serius dalam ranah data pribadi dan keamanan siber. Joan Stern dari The Wall Street Journal, dalam sebuah unggahan di YouTube, menunjukkan bagaimana deepfake berhasil melewati sistem verifikasi biometrik akun bank miliknya. Tidak mengherankan jika sistem perbankan yang mengandalkan verifikasi suara (voice biometrics) kini semakin rentan terhadap serangan berbasis deepfake.
Sebuah studi dari MIT dan Google mengungkapkan bahwa hanya dengan satu menit data suara, teknologi cloning suara dapat mereplikasi suara asli secara persuasif. Hal ini menjadi faktor utama yang berkontribusi terhadap lemahnya sistem keamanan yang bergantung pada biometrik suara, termasuk di dunia perbankan. Meski biometrik wajah dianggap sebagai alternatif yang lebih aman, perkembangan kecerdasan buatan (AI) berpotensi membuat teknologi ini juga menjadi kurang relevan di masa depan.
Baca Juga:7 Rekomendasi Motor Terbaik untuk Touring Saat Ini, Cocok untuk PetualangBukan Hanya Soal Pertamax Oplosan, Begini Cara SPBU Pertamina Lakukan Kecurangan
Tentu saja, ancaman deepfake terhadap umat manusia tidak berhenti di sini. Segala bentuk tiruan yang dapat menghasilkan keuntungan akan terus menghantui kita. Ditambah lagi dengan banjirnya konten berbasis deepfake AI di masa mendatang, yang akan bersaing langsung dengan konten asli yang dibuat dengan usaha nyata.
Palo Alto Networks, perusahaan keamanan siber asal Amerika Serikat, bahkan memprediksi bahwa deepfake akan menjadi ancaman yang lebih besar terhadap keamanan siber pada tahun 2025.
Apa yang Harus Kita Lakukan untuk Menghadapinya?
Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita menghadapi ancaman deepfake sebelum menimbulkan kerugian yang lebih besar? Benteng pertahanan terakhir ada pada diri kita masing-masing. Kita, saya, dan Anda harus sepenuhnya menyadari bahwa manusia adalah makhluk audiovisual yang mudah diperdaya.
Sebagian besar dari kita cenderung mempercayai apa yang kita lihat dan dengar. Oleh karena itu, ketika mata dan telinga dapat dengan mudah dikelabui, kita harus lebih waspada dan kritis dalam menyaring informasi. Jangan langsung mempercayai sesuatu begitu saja.