Kemiskinan bukan sekadar soal tidak memiliki uang. Kemiskinan adalah tentang tidak memiliki akses, tidak memiliki peluang, dan tidak memiliki kebebasan untuk memilih. Ada orang yang lahir di keluarga kaya, berkesempatan bersekolah di tempat terbaik, memiliki jaringan relasi yang luas, dan hidup tanpa perlu mengkhawatirkan kebutuhan esok hari.
Namun, ada pula orang yang lahir di lingkungan miskin, terpaksa bekerja sejak kecil, tidak mampu menempuh pendidikan tinggi, dan tidak memiliki siapa pun yang bisa membantunya naik ke atas.
Ketika mereka gagal, dunia berkata, “Itu salahmu sendiri.” Padahal, mereka bahkan tidak pernah diberi kesempatan yang sama sejak awal. Maka, pertanyaannya: apakah ini masalah takdir atau masalah sistem—sistem yang sejak awal memang dirancang untuk membuat orang miskin tetap miskin?
Baca Juga:7 Rekomendasi Motor Terbaik untuk Touring Saat Ini, Cocok untuk PetualangBukan Hanya Soal Pertamax Oplosan, Begini Cara SPBU Pertamina Lakukan Kecurangan
2. Kemiskinan adalah Produk Sistem, Bukan Nasib
Pendidikan mahal, namun kebodohan dibiarkan.
Pendidikan adalah salah satu jalan keluar dari kemiskinan. Namun, mengapa pendidikan yang berkualitas justru begitu mahal? Karena semakin sedikit orang yang berpendidikan, semakin mudah mereka dikendalikan. Pikirkan ini: jika semua orang cerdas, siapa yang akan bekerja dengan upah rendah? Jika semua orang terdidik, siapa yang dapat ditipu oleh propaganda? Jika semua orang memiliki wawasan luas, siapa yang dapat dimanipulasi oleh sistem?
Itulah mengapa akses pendidikan bagi orang miskin dibuat mahal, sulit, dan terbatas—agar mereka tetap berada di bawah.
Upah rendah, harga kebutuhan tinggi.
Orang bekerja keras, bahkan mati-matian, namun tetap miskin. Mengapa? Karena sistem mengatur agar upah diberikan seminimal mungkin, sementara harga kebutuhan hidup terus meningkat. Akibatnya, mereka bekerja bukan untuk hidup, melainkan sekadar untuk bertahan. Mereka tidak pernah benar-benar keluar dari kemiskinan, melainkan terus berputar dalam lingkaran yang sama.
Mentalitas pasrah yang ditanamkan sejak dini.
“Jangan banyak protes.” “Ikhlaskan saja.” “Mungkin ini sudah jalannya.”
Kalimat-kalimat seperti ini bukan sekadar nasihat, melainkan alat untuk membuat orang berhenti berpikir dan menerima keadaan. Mereka diajarkan untuk pasrah, bukan untuk bertanya. Dan ketika seseorang berhenti bertanya, ia akan berhenti berjuang. Inilah yang membuat kemiskinan terus diwariskan dari generasi ke generasi.