sumedangekspres, Bukan tempat yang dicari di peta saat orang berburu ketenangan, bukan pula destinasi bagi pencinta suasana kafe estetik atau lorong-lorong tua penuh sejarah. Ia hanya sebuah kecamatan di pinggir barat Kabupaten Sumedang yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung jarang disinggahi. Tapi bagi mereka yang pernah tinggal, tumbuh, atau sekadar menetap barang satu-dua tahun, Cimanggung akan selalu tinggal di lipatan kenangan.
HIRUK pikuk kehidupan di sini dimulai sejak matahari baru mengintip dari balik bukit. Pabrik-pabrik besar berdiri seperti raksasa tua, mengembuskan asap dan suara dengung mesin yang tak pernah tidur.
Ribuan orang datang pagi-pagi sekali, dengan wajah mengantuk dan badan yang kadang masih pegal. Mereka berjalan cepat, entah menuju tempat kerja atau pasar tradisional Parakanmuncang yang semrawut tapi penuh kehidupan.
Baca Juga:SMK Muhammadiyah 1 Sumedang Siap Jadi Pelopor Energi Baru TerbarukanPemdes Mekarjaya Gelar Halal Bihalal, Jalin Kedekatan dengan Masyarakat
Udara di pagi hari kadang terasa segar, apalagi saat kabut tipis masih menggantung di ujung gang. Bukit-bukit yang mengelilingi Cimanggung, dengan gunung di kejauhan berdiri seperti penjaga setia, membuat segala kesibukan terasa kontras tapi indah. Di satu sisi, suara peluit pabrik bersahutan; di sisi lain, alam memeluk dengan diam yang megah.
Pasar tradisional Parakanmuncang, meski becek dan tak pernah benar-benar bersih, adalah denyut nadi yang tidak bisa diabaikan. Di sanalah anak-anak belajar tawar-menawar sejak kecil, di sanalah kisah cinta buruh pabrik sering dimulai kadang cukup dari segelas es lilin atau sekadar senyum singkat di lorong sempit. Kumuh? Mungkin. Tapi tak sedikit orang yang rindu bau lumpur dan daun pisang di pagi buta.
Kecamatan Cimanggung juga punya wajah murung. Saat hujan datang deras tanpa aba-aba, genangan muncul seperti ingatan lama: pelan, mengalir, lalu menyesakkan. Rumah-rumah kecil di bantaran sungai Cimande menjadi was-was, anak-anak disuruh naik ke ranjang lebih awal, dan warga sibuk menyelamatkan karpet yang belum kering dari jemuran. Tapi seperti biasa, esoknya hidup kembali bergerak. Tak ada yang benar-benar berhenti di Cimanggung, bahkan setelah banjir.
Namun di balik semua itu, Cimanggung menyimpan sisi yang tak terlihat oleh pengunjung singgah. Saat sore datang dan matahari mulai tenggelam di balik Gunung Geulis, langit di atas Cimanggung berubah jadi kanvas jingga yang meluruhkan letih. Bukit-bukit menghijau sepanjang tahun, menjadi pelipur lara bagi siapa pun yang sedang dilanda gundah. Di beberapa sudut desa, masih bisa terdengar suara burung, sapi yang melenguh, dan anak-anak yang bermain bola di tanah lapang seadanya.