– Persaingan yang semakin ketat dengan operator berbasis GSM, seperti Telkomsel, Indosat, dan XL, yang secara agresif menawarkan layanan dengan jaringan lebih luas dan stabil.
– Teknologi GSM memiliki fleksibilitas lebih besar dalam hal kompatibilitas perangkat, sementara teknologi CDMA yang digunakan Esia terbatas hanya pada ponsel tertentu, sehingga mengurangi daya tarik di mata konsumen.
– Ketika industri telekomunikasi mulai beralih ke jaringan 3G dan 4G, jaringan CDMA yang digunakan Esia menjadi semakin tertinggal dan kurang relevan.
Baca Juga:iQOO Z10 Hadir dengan Baterai Jumbo 7.300 mAh Super Fast Charging, Simak ReviewnyaStereotip Motor Matic di Indonesia
Kehancuran Esia
Esia menjadi usang seiring dengan perubahan preferensi konsumen yang mulai beralih ke operator yang menawarkan akses internet lebih cepat dan layanan yang lebih modern. Strategi Esia yang kurang adaptif terhadap perubahan ini turut mempercepat penurunan kinerjanya.
Pada tahun 2012, Esia meluncurkan Esia Max-D, layanan internet berbasis teknologi EVDO. Namun, layanan ini tidak mampu bersaing dengan operator berbasis 3G dan 4G yang menawarkan kecepatan lebih tinggi dan latensi lebih rendah.
Selain persoalan teknologi, PT Bakrie Telecom juga mulai terbebani oleh utang yang signifikan. Pada tahun 2014, perusahaan menyewa jaringan 4G milik Smartfren dengan biaya sebesar Rp30 miliar per bulan, serta membeli 6% saham Smartfren sebagai bagian dari upaya revitalisasi. Sayangnya, langkah ini gagal menghentikan penurunan jumlah pelanggan dan justru memperparah kondisi keuangan perusahaan.
Pada 1 April 2015, Esia secara resmi menghentikan layanan data, yang kemudian diikuti oleh penutupan jaringan CDMA di luar wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Banten pada Januari 2016. Secara bertahap, seluruh layanan Esia dihentikan. Pada tahun 2018, Smartfren melaporkan bahwa Esia tidak lagi memiliki pelanggan aktif, menandai berakhirnya operasi Esia di pasar telekomunikasi Indonesia.
Meskipun PT Bakrie Telecom tidak secara hukum dinyatakan bangkrut, perusahaan ini menghadapi beban utang yang besar, termasuk gugatan di Amerika Serikat pada tahun 2014 terkait obligasi senilai USD 380 juta.
Untuk mengatasi krisis finansial tersebut, Bakrie Telecom menjalani proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diakui oleh Pengadilan Amerika Serikat pada 2021. Namun, saham perusahaan resmi dihapus pencatatannya (delisting) dari Bursa Efek Indonesia pada tahun yang sama.