SUMEDANG EKSPRES – Sritex pernah menjadi kebanggaan nasional. Perusahaan ini pernah melayani NATO, Amerika Serikat, dan negara-negara kuat lainnya di dunia. Namun hari ini, mereka bukan lagi siapa-siapa.
Sritex, perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, dahulu dielu-elukan sebagai “raja” seragam militer dunia. Kini, perusahaan tersebut tenggelam dalam utang, ditinggalkan investor, dan diburu oleh waktu.
Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana mungkin sebuah dinasti bisnis sebesar ini bisa runtuh begitu cepat? Dan siapa yang seharusnya bertanggung jawab?
Baca Juga:Viral Anggota DPRD Sumut Cekik Pramugari di Pesawat Wings Air, Ini OrangnyaKisah Kejayaan Esia Hidayah hingga Kehancurannya Gara-Gara Jaringan
Ini bukan semata soal uang. Ini adalah pelajaran tentang keserakahan, keputusan yang keliru, serta harga yang harus dibayar dari ambisi yang tak terkendali.
Semua bermula pada tahun 1966, ketika seorang pria sederhana bernama Lukminto membuka toko kecil di Solo. Ia bukan anak konglomerat, bukan pula lulusan luar negeri. Namun, Lukminto memiliki sesuatu yang tidak dimiliki semua orang, yaitu visi.
Ketika orang lain sibuk berjualan batik, Lukminto berpikir jauh ke depan. Ia menyadari bahwa selama masih ada peperangan, akan selalu ada kebutuhan akan seragam. Dan selama ada seragam, akan selalu ada peluang bisnis. Dari pemikiran itulah ia membangun Sritex, atau Sri Rejeki Isman — sebuah pabrik tekstil lokal yang kelak tumbuh menjadi raksasa dunia.
Lukminto tidak setengah-setengah. Ia menguasai seluruh rantai produksi, mulai dari benang, pemintalan, pewarnaan, hingga pembuatan garmen. Ia tidak ingin bergantung pada siapa pun, karena baginya, kendali adalah segalanya.
Dan itu berhasil. Sritex mulai memproduksi seragam militer, dan bukan untuk sembarang negara. Pelanggannya tersebar di lebih dari 30 negara, mulai dari Jerman, Korea Selatan, Arab Saudi, hingga Amerika Serikat.
Pada tahun 2013, Sritex resmi melangkah ke panggung global. Bukan lagi sekadar pemain lokal, mereka mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia melalui proses Initial Public Offering (IPO). Sejak hari itu, perhatian publik tertuju pada mereka.
Investor memuji, analis pasar menyambut dengan antusias, dan media nasional menjuluki Sritex sebagai “cahaya baru” bagi industri manufaktur Indonesia. Banyak yang percaya bahwa Sritex adalah perusahaan masa depan — pabrik kebanggaan bangsa yang berhasil menembus pasar dunia.