Dengan dana tersebut, Sritex semakin agresif: membangun lini produksi baru, menambah kapasitas, memperluas pasar luar negeri, dan menaikkan target ekspor. Dari luar, semua ini tampak megah. Semua orang terkagum. Banyak yang ingin menjadi seperti mereka.
Awal Kejatuhan Sritex
Namun di balik kemegahan itu, perlahan bom waktu mulai berdetak.
Pertanyaannya sederhana: Apakah pertumbuhan yang terlalu cepat itu sehat? Apakah setiap ekspansi benar-benar menghasilkan keuntungan? Apakah setiap dolar utang benar-benar digunakan untuk kegiatan produktif?
Baca Juga:Viral Anggota DPRD Sumut Cekik Pramugari di Pesawat Wings Air, Ini OrangnyaKisah Kejayaan Esia Hidayah hingga Kehancurannya Gara-Gara Jaringan
Atau justru mereka terlalu sibuk mengejar target hingga lupa menghitung risiko? Lupa bahwa suku bunga global bisa naik kapan saja. Lupa bahwa pasar bisa berubah dalam semalam. Lupa bahwa dunia bisa dilanda krisis yang tak terduga.
Semua itu mereka abaikan. Mengapa? Karena euforia. Karena mabuk oleh kemenangan.
Setiap pertumbuhan dibiayai oleh utang baru. Sritex terus melaju, sambil membawa bom waktu yang berdetak pelan-pelan menuju kehancuran.
Tapi semua orang terlalu sibuk melihat angka: pertumbuhan naik, laba naik, ekspor naik. Tak ada yang menyadari bahwa perusahaan ini sedang mabuk oleh ambisi yang tak terkendali.
Utang itu seperti narkoba. Di awal, bisnis memang melaju cepat. Tapi semakin lama, utang justru menciptakan ketergantungan. Dan ketika kamu tidak bisa berhenti, kehancuran pun tak terelakkan.
Dalam dunia bisnis, terkadang kemenangan yang datang terlalu cepat justru bisa menjadi sebuah kutukan. Sayangnya, Sritex terjebak dalam perangkap itu. Ambisi mereka membara, aliran dana mengucur deras, para investor memuja, pasar bertepuk tangan.
Namun, mereka lupa satu hal paling mendasar dalam bisnis: keberlanjutan lebih penting daripada kecepatan.
Baca Juga:iQOO Z10 Hadir dengan Baterai Jumbo 7.300 mAh Super Fast Charging, Simak ReviewnyaStereotip Motor Matic di Indonesia
Sritex berlari terlalu kencang. Dan ketika berlari sekencang itu, sedikit saja batu di jalan bisa membuatmu tersungkur keras.
Dan itulah yang terjadi. Dunia hanya tinggal menunggu waktu. Pasar menahan napas. Dan tanpa sadar, Sritex telah menyalakan sumbu bom waktu mereka sendiri.
Lalu datanglah krisis global: pandemi COVID-19.
Perang dunia berhenti, permintaan seragam militer anjlok, ekspor tersendat. Namun satu hal yang tidak berhenti adalah cicilan utang.