Sritex mulai kewalahan. Dan pada tahun 2021, kabar buruk itu akhirnya datang — Sritex gagal bayar utang.
Mereka gagal melunasi surat utang luar negeri, dan langsung mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Perusahaan yang dulu menjadi kebanggaan nasional itu kini duduk sebagai terdakwa finansial di pengadilan. Dikejar para kreditor.
Sritex, perusahaan bernilai miliaran dolar, kini terpojok dan kehilangan pijakan.
Baca Juga:Viral Anggota DPRD Sumut Cekik Pramugari di Pesawat Wings Air, Ini OrangnyaKisah Kejayaan Esia Hidayah hingga Kehancurannya Gara-Gara Jaringan
Kejatuhan Sritex membawa dampak yang luas. Saham SRIL anjlok drastis. Ribuan karyawan hidup dalam ketidakpastian. Publik terkejut dan sulit percaya.
Laporan keuangan perusahaan mulai dikupas satu per satu. Terungkap berbagai kejanggalan. Muncul rumor manipulasi, dugaan aliran dana ke anak perusahaan.
Ada yang mengatakan, mereka terlalu yakin bahwa pemerintah tidak akan membiarkan mereka jatuh. Tapi mereka salah.
Kenyataan datang terlalu cepat. Pasar tidak peduli seberapa besar namamu — pasar hanya peduli satu hal: apakah kamu bisa membayar atau tidak. Dan faktanya, Sritex tidak bisa.
Yang jatuh bukan hanya perusahaannya. Yang paling hancur adalah para pekerja: ribuan karyawan, ribuan keluarga, anak-anak yang tiba-tiba tidak bisa melanjutkan sekolah, ibu rumah tangga yang kehilangan pemasukan, dan para karyawan yang telah mengabdi puluhan tahun namun mendadak diputus kontrak.
Semua ini terjadi karena satu kesalahan: keputusan yang terlalu terburu-buru. Hal yang paling menyakitkan dari semua ini adalah tercorengnya warisan Lukminto.
Semua yang ia bangun dengan tangan sendiri—kerja keras bertahun-tahun, dedikasi, dan komitmen—kini hancur.
Baca Juga:iQOO Z10 Hadir dengan Baterai Jumbo 7.300 mAh Super Fast Charging, Simak ReviewnyaStereotip Motor Matic di Indonesia
Anak-anaknya memang mengambil alih kendali, namun tidak memiliki kekuatan pengendalian sekuat sang ayah. Keputusan-keputusan diambil terlalu cepat, terlalu berani, bahkan cenderung ceroboh.
Tidak ada kontrol yang ketat. Tidak ada strategi bertahan. Tidak ada rencana cadangan. Yang ada hanyalah mimpi besar, dan utang yang lebih besar.
Dari Sritex, kita belajar satu hal penting: besar belum tentu kuat. Terlalu cepat bisa menghancurkan. Dan utang bukanlah solusi jika tidak bisa dikendalikan.
Dalam dunia bisnis, yang mampu bertahan bukanlah yang paling pintar, tetapi yang paling disiplin. Dan hal paling berbahaya adalah ketika kamu mulai percaya bahwa kamu tidak mungkin gagal.