3 Sisi Gelap Kamboja Ternyata Lebih Parah dari Indonesia

Sisi Gelap Kamboja
Fakta Sisi Gelap Kamboja. Image: Pixabay
0 Komentar

Julukan tersebut merujuk pada perang saudara yang terjadi pada tahun 1960-an, serta pengambilalihan kekuasaan secara brutal oleh Partai Komunis Khmer Merah pada tahun 1975. Aksi ini menewaskan jutaan orang dan menjadi salah satu genosida terbesar dalam sejarah modern.

Trauma pembantaian massal oleh rezim Khmer Merah masih terasa hingga kini. Keluarga-keluarga kehilangan anggota tercinta, sistem pendidikan dan kebudayaan hancur, serta muncul generasi yang tumbuh tanpa masa kecil yang layak—semuanya menjadi bagian dari luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh.

2. Korupsi Merajarela

Kehidupan di Kamboja dapat terasa sangat pahit, terutama bagi masyarakat kelas bawah. Di balik kemegahan Angkor Wat dan pertumbuhan ekonomi yang ditampilkan ke dunia internasional, banyak warga masih berjuang menghadapi kenyataan hidup yang suram. Sebagian besar penduduk hidup dari pertanian subsisten dengan pendapatan yang rendah, sementara kalangan elit politik dan bisnis hidup dalam kemewahan. Akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan masih sangat terbatas.

Baca Juga:Aplikasi Best Reading Buat Skema Investasi Bodong Modus Membaca Konten10 Rahasia Jahat Trik Marketing Brand yang Bisa Kuras Uangmu Sampai Habis

Banyak anak terpaksa putus sekolah karena biaya, pelayanan kesehatan kerap kali mahal dan sulit dijangkau, terutama di wilayah pedesaan. Sanitasi yang buruk masih menjadi masalah besar. Perempuan sering kali menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, atau bahkan perdagangan manusia. Anak-anak banyak yang dipaksa bekerja, mengemis, atau dijadikan alat eksploitasi wisatawan.

Di negara ini, keadilan bukanlah hak yang dimiliki semua orang, melainkan sesuatu yang bisa dibeli. Keadilan dijual kepada mereka yang mampu membayar, dan dirampas dari mereka yang tidak memiliki apa-apa.

Di pengadilan, suara rakyat miskin nyaris tak pernah terdengar. Hukum bukan lagi menjadi pelindung, melainkan alat kekuasaan—senjata yang diarahkan kepada mereka yang lemah.

Para pejabat duduk di kursi empuk, menandatangani proyek demi proyek, menyedot anggaran negara layaknya lintah yang rakus. Jalan-jalan dibangun hanya setengah, sisanya menguap ke rekening pribadi. Sekolah berdiri, tetapi tanpa guru. Rumah sakit dibuka, tetapi tanpa obat.

Sementara itu, di pelosok desa, ibu-ibu melahirkan di lantai tanah, dan anak-anak belajar dengan papan tulis yang pecah. Ketika mereka memprotes, mereka dibungkam. Ketika mereka melawan, mereka dituduh mencemarkan nama baik negara.

0 Komentar