Informasi semacam itu terdengar abstrak dan terlalu jauh dari realitas hidup mereka. Dan ini bukan semata-mata persoalan pendidikan atau pemahaman ekonomi, melainkan persoalan hierarki kebutuhan. Kita tahu bahwa ketika perut lapar dan penghasilan tidak menentu, manusia akan lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar terlebih dahulu. Dalam situasi seperti itu, isu mengenai stabilitas ekonomi nasional tampak seperti persoalan orang lain.
Padahal secara ironis, kondisi-kondisi makro tersebut sebenarnya tetap memberi dampak terhadap kehidupan mereka. Namun karena dampaknya tidak langsung dan tidak kasatmata, maka respons yang muncul pun cenderung dingin atau bahkan acuh.
Di sinilah letak persoalan strukturalnya. Negara ini terlalu sering berbicara kepada rakyat dengan bahasa menara gading. Istilah-istilah teknis terus dilemparkan ke ruang publik seolah-olah semua orang memahami dan merasa itu relevan.
Baca Juga:7 Rekomendasi HP Sinyal Kuat Paling Stabil Pada 2025Review Lengkap Infinix Note 50s 5G Plus yang Dibilang Punya Desain Nyeleneh
Padahal kenyataannya, mayoritas rakyat justru membutuhkan narasi ekonomi yang membumi—yang berbicara tentang naiknya harga beras, sulitnya mendapatkan minyak goreng, atau mahalnya ongkos transportasi—bukan grafik saham atau pidato panjang lebar tentang optimisme ekonomi.
Pada titik ini, penting bagi kita untuk memahami bahwa sikap masa bodoh terhadap berita-berita ekonomi bukanlah karena masyarakat miskin malas atau tidak mau belajar, melainkan karena sistem informasi yang ada memang tidak dirancang untuk menjangkau mereka. Media ekonomi kita lebih banyak berbicara tentang investor, pasar, dan kepentingan korporasi besar.
Sangat sedikit yang bersedia duduk, mendengarkan, dan menerjemahkan semua itu ke dalam bahasa yang bisa dimengerti dan dirasakan oleh masyarakat kelas bawah dalam kehidupan sehari-hari.
2. Mental Ketidakberdayaan
Kemiskinan bukan sekadar persoalan kekurangan uang, tetapi juga tentang hancurnya harapan secara bertahap. Ada satu kondisi psikologis yang kerap muncul di kalangan masyarakat miskin, yaitu learned helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari).
Ini adalah kondisi di mana seseorang merasa tidak berdaya karena terlalu sering mengalami kegagalan atau penolakan, hingga akhirnya mereka berhenti berusaha. Dan ini bukan mitos. Ini adalah realitas yang dapat ditemukan di banyak sudut kota maupun desa di Indonesia.