SUMEDANG EKSPRES – Di Indonesia, terdapat sebuah lembaga negara bernama DPR atau Dewan Perwakilan Rakyat. Lembaga ini berfungsi sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Sesuai dengan namanya, DPR memiliki peran untuk mewakili rakyat dalam pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan negara.
Ketika menyusun suatu kebijakan, DPR seharusnya mempertimbangkan kepentingan dan kepuasan rakyat sebelum mengesahkan kebijakan tersebut. Sebagai lembaga negara yang diberi mandat untuk mewakili rakyat, DPR tidak dapat bertindak semena-mena dalam mengambil keputusan, terlebih jika kebijakan tersebut berpotensi mengecewakan masyarakat.
Namun, pada kenyataannya, banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh DPR justru menimbulkan kontroversi dan membuat sebagian besar rakyat merasa kecewa. Salah satu contohnya adalah kebijakan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI, di mana inti dari rancangan undang-undang ini memberikan kewenangan lebih besar kepada TNI untuk terlibat dalam urusan sipil.
Baca Juga:7 Rekomendasi HP Sinyal Kuat Paling Stabil Pada 2025Review Lengkap Infinix Note 50s 5G Plus yang Dibilang Punya Desain Nyeleneh
Kebijakan ini menuai banyak kritik dari masyarakat, karena dianggap berpotensi membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan dan mengancam prinsip demokrasi. Tugas utama TNI seharusnya berfokus pada pertahanan negara, bukan menangani urusan sipil.
Atas dasar kekhawatiran tersebut, sejumlah elemen masyarakat, termasuk gabungan mahasiswa, melakukan aksi unjuk rasa untuk menyampaikan penolakan terhadap rancangan undang-undang tersebut. Namun, meskipun penolakan dari masyarakat cukup besar, DPR tetap mengesahkan RUU TNI menjadi undang-undang pada 20 Maret 2025.
Situasi ini semakin memprihatinkan karena pengesahan tersebut juga disertai dengan bentrokan antara mahasiswa dan aparat yang terjadi di lokasi demonstrasi. Kejadian tersebut membuat rakyat semakin merenung dan kecewa, karena aspirasi yang disampaikan secara terbuka justru dihadapi dengan tindakan represif. Padahal, masyarakat hanya berupaya menyampaikan penolakan terhadap kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan mereka.
Namun, DPR tetap mengesahkan undang-undang tersebut, seolah tidak mendengarkan suara rakyat yang mereka wakili.
Kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak memihak rakyat ini bukan hanya terjadi sekali dua kali. Bahkan, tidak jarang DPR seolah tidak berpihak kepada kepentingan rakyat, padahal secara amanat konstitusi, DPR seharusnya menjadi wadah penyalur aspirasi rakyat.
Sebagai contoh, kita bisa mengingat kembali saat pengesahan RUU Cipta Kerja, yang dinilai lebih menguntungkan pengusaha daripada pekerja, atau kenaikan tarif PPN sebesar 12%, yang dirasakan sangat memberatkan masyarakat kelas menengah ke bawah.