Lantas, apa saja sebenarnya yang membuat DPR dibenci oleh banyak rakyat?
Sebagai lembaga yang bertugas menyalurkan aspirasi rakyat, DPR juga menerima pendapatan yang sangat besar untuk menjalankan amanat tersebut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000, gaji pokok anggota hingga ketua DPR berkisar antara Rp4,2 juta hingga Rp5 juta per bulan. Sekilas, angka ini mungkin tidak terlalu mencolok. Namun, jika ditambahkan dengan berbagai tunjangan dan fasilitas lainnya, total penghasilan minimal seorang anggota DPR bisa mencapai sekitar Rp50 juta per bulan.
Tentu saja, jumlah ini tergolong fantastis, apalagi jika dibandingkan dengan pendapatan mayoritas rakyat Indonesia. Namun, yang menjadi perhatian utama bukan hanya besarnya nominal, tetapi asal-usul dana untuk membiayai gaji tersebut.
Menurut berbagai sumber, alokasi anggaran gaji DPR berasal dari APBN, yang mana dana APBN ini didapat dari utang negara, pajak yang dibayar oleh rakyat, serta sumber-sumber lainnya.
Baca Juga:7 Rekomendasi HP Sinyal Kuat Paling Stabil Pada 2025Review Lengkap Infinix Note 50s 5G Plus yang Dibilang Punya Desain Nyeleneh
Kenapa hal ini penting untuk dicermati?
Karena secara sistem, gaji DPR pada dasarnya dibayar menggunakan uang rakyat. Hal ini tentu tidak menjadi masalah apabila kinerja DPR benar-benar mencerminkan amanat rakyat. Namun kenyataannya, kita dapat melihat sendiri banyaknya masyarakat yang justru menentang kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh DPR.
Bayangkan saja: seluruh aspek kehidupan rakyat dikenai pajak, lalu uang hasil pajak itu digunakan untuk membayar orang-orang yang seharusnya menyuarakan kepentingan rakyat, tetapi justru membuat kebijakan yang mengecewakan rakyat itu sendiri.
Inilah yang menyebabkan rasa kecewa dan kebencian masyarakat terhadap DPR semakin besar, karena rakyat merasa tidak didengarkan, bahkan dikhianati oleh wakil yang seharusnya membela mereka.
Seharusnya, ketika kita membayar seseorang—dalam hal ini melalui pajak—kita juga mendapatkan manfaat dari apa yang kita bayarkan. Namun kenyataannya, uang rakyat yang diambil melalui pajak justru sering dibalas dengan kekecewaan melalui berbagai kebijakan negara yang tidak berpihak pada rakyat.
Memang, jika kita berbicara soal benar atau tidaknya sebuah kebijakan, hal itu bisa sangat subjektif. Meskipun banyak yang menolak, tetap ada sebagian masyarakat yang mendukung kebijakan tersebut. Namun, sebagai negara yang menganut sistem politik demokrasi, dominasi jumlah suara rakyat yang menolak atau menerima sebuah kebijakan tetap harus menjadi perhatian utama.