Pasokan Gas Elpiji 3 Kg dari Bandung Nyasar ke Jatinangor

MERUGI: Sejumlah pemilik pangkalan gas LPG 3 kg di Kabupaten Sumedang mengeluhkan kerugian akibat terganggunya
MERUGI: Sejumlah pemilik pangkalan gas LPG 3 kg di Kabupaten Sumedang mengeluhkan kerugian akibat terganggunya distribusi gas yang tidak sesuai aturan rayon.
0 Komentar

sumedangekspres, JATINANGOR – Sejumlah pemilik pangkalan gas LPG 3 kg di Kabupaten Sumedang, khususnya yang berada di wilayah perbatasan Sumedang-Bandung, mengeluhkan kerugian akibat terganggunya distribusi gas yang tidak sesuai aturan rayon. Keluhan tersebut disampaikan Nurjaman, salah seorang pemilik pangkalan di wilayah Jatinangor, Senin (21/4).

Menurut dia, banyak warung dan pelaku UMKM yang biasa menjadi pelanggan kini menolak pasokan dari pangkalannya karena sudah mendapat suplai dari pihak lain yang membawa gas LPG bersegel hijau asal Kabupaten Bandung.

“Saya biasa memasok ke warung dan UMKM sekitar pangkalan, tapi sekarang mereka menolak karena sudah ada pengirim lain. Selain itu, masyarakat juga lebih memilih gas bersegel hijau karena harganya lebih murah,” ungkap Nurjaman.

Baca Juga:Kolam Renang Gunung Sari, Destinasi Tersembunyi Ramah di KantongPolisi Ajak Warga Kampung Baru Wado Jaga Kondusifitas Lingkungan

Ia menjelaskan, harga eceran tertinggi (HET) gas LPG 3 kg di wilayah Sumedang mencapai Rp19.000, sedangkan di wilayah Bandung hanya Rp16.600. Selisih harga sebesar Rp2.400 tersebut membuat banyak konsumen beralih ke suplai dari Bandung, meskipun hal itu melanggar aturan distribusi dari Pertamina.

Aturan distribusi gas LPG 3 kg mewajibkan agen resmi hanya menjual gas sesuai dengan rayon yang telah ditentukan. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenai sanksi, mulai dari teguran tertulis hingga pencabutan izin usaha.

“Ini jelas merugikan kami yang mengikuti aturan. Kami meminta pemerintah segera menindaklanjuti masalah ini dengan serius,” tegas Nurjaman.

Ia juga mengingatkan adanya ancaman pidana terhadap penyalahgunaan distribusi gas subsidi, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam pasal tersebut disebutkan, pelanggar dapat dikenakan hukuman penjara hingga enam tahun dan denda hingga Rp60 miliar. (red)

0 Komentar