sumedangekspres – Dalam gelaran pagelaran wayang golek di Lapangan Pusat Pemerintahan Sumedang, Jumat malam (26/4), Kang Dedi Mulyadi (KDM) tampil menyampaikan serangkaian pesan penting tentang kepemimpinan serta pelestarian lingkungan dan nilai-nilai budaya Sunda.
Bersama Dalang Yogaswara Sunandar Sunarya, Komedian Ohang, Ade Batak, dan Mang Radja, KDM tidak hanya menghibur warga melalui interaksi ringan di panggung, tetapi juga menyelipkan pesan-pesan serius yang relevan dengan kondisi sosial dan lingkungan saat ini.
Dalam kesempatan tersebut, KDM menekankan bahwa seorang pemimpin harus “leber wawanén” yakni keberanian yang tidak mudah goyah atau tidak terpengaruh oleh tekanan dari luar.
Baca Juga:Abdi Nagri Nganjang ka Warga, Pererat Hubungan Pemerintah dengan MasyarakatFestival Layanan Publik Warnai HJS ke-447 Sumedang, Dony: Mendekatkan Pelayanan Kepada Masyarakat
“_Pamingpin téh kudu leber wawanén. Ulah gampang kabawa ku rayuan atawa tekanan. Kudu jujur, tegas, sarta daék nangtayungan rahayat jeung alam_ (Pemimpin itu harus besar keberaniannya. Jangan mudah dirayu atau ditekan. Harus jujur, tegas dan mau melindungi rakyat dan alam),” ujar KDM.
Salah satu bentuk ketegasan itu, menurut Dedi, harus diwujudkan dalam menindak praktik-praktik ilegal seperti tambang galian liar yang merusak lingkungan serta pengelolaan alam yang sembrono. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh ragu dalam mengambil tindakan tegas terhadap aktivitas yang mengancam kelestarian lingkungan.
Tak hanya itu, KDM juga mengkritisi kebijakan-kebijakan sekolah yang memberatkan orang tua murid. Ia menyerukan perlunya kembali kepada pendidikan yang berakar pada nilai kebersamaan dan kesederhanaan.
“Pendidikan _teu kudu mahal jeung mewah. Anu penting mah eusi jeung nilaina_ , (Pendidikan tidak harus mahal dan mewah. Yang penting isi dan nilainya),” tambahnya.
Dalam nada prihatin, KDM mengungkapkan keprihatinannya terhadap degradasi lingkungan yang kian nyata di berbagai daerah di Jawa Barat. Menurutnya, kerusakan terjadi karena manusia semakin jauh dari nilai-nilai lokal, spiritualitas dan filosofi hidup yang diwariskan leluhur Sunda.
“_Mun urang geus leungit kana ajén kahirupan, ka alam jeung sasama, moal aya deui karapihan. Nu rugi urang sorangan jeung generasi ka hareup_. (Kalau kita sudah hilang nilai kehidupannya, kepada alam dan sesama,, tidak akan ada kerapian. Yang rugi kita sendiri dan generasi yang akan datang),” kata Dedi.