Desa Cileles Jadi Laboratorium Hidup

Desa Cileles Jadi Laboratorium Hidup
Program Living Lab resmi diluncurkan di Fesa Cileles Kecamatan Jatinangor ini sebagai percontohan kolaborasi kampus dan masyarakat dalam mengelola sampah dan memperkuat ketahanan sosial.(Engkos/Sumeks)
0 Komentar

JATINANGOR – Sebuah langkah besar dalam menjawab krisis lingkungan dan sosial dilakukan di Desa Cileles, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Program Living Lab resmi diluncurkan di desa ini sebagai percontohan kolaborasi kampus dan masyarakat dalam mengelola sampah dan memperkuat ketahanan sosial.

Program ini menjadi bagian dari gerakan “Kampus Berdampak” yang diterjemahkan menjadi Gradasi – akronim dari Gotong Royong Akademisi Bersinergi dan Berinova si. Kepala LLDIKTI Wilayah IV Jawa Barat-Banten, Lukman, menyebut potensi perguruan tinggi sangat besar untuk menghadapi tantangan bangsa.

“Bayangkan, kita punya 418 perguruan tinggi, hampir 3.000 program studi, dan lebih dari 860 ribu mahasiswa. Kalau semua bersinergi, isu seperti sampah bukan lagi masalah, tapi peluang,” ujar Lukman saat peluncuran program, Selasa (8/7).

Baca Juga:Kegiatan PkM Dosen Keperawatan UPI di Desa CitimunBerteman dengan Orang Sukses: Salah Satu Cara Cepat Kaya yang Terlupakan

Melalui Living Lab, satu program studi didorong untuk membina satu RW. Konsep ini sudah diuji coba di Cimahi dengan hasil positif dan akan diperluas ke daerah lain.

Setiap kampus yang terlibat akan dibekali berbagai perangkat seperti biocomposter, alat pengecek unsur hara, hingga mesin pengolah plastik. Sejumlah kampus besar, termasuk Telkom University dan Universitas Papua, sudah menyatakan dukungan.

Wakil Bupati Sumedang, M. Fajar Aldila, turut memberikan apresiasi. Menurutnya, persoalan sampah di Sumedang sudah masuk kategori darurat.

“Kita produksi sampah 140 ton per hari. Kalau tidak dikelola, bisa jadi bencana lingkungan. Living Lab ini bukan lagi ide, tapi aksi nyata,” katanya tegas.

Baru 20 hari menjabat, Fajar langsung bergerak menyusuri wilayah Jatinangor. Ia menyebut pembangunan kawasan smart city seperti Jatinangor harus dimulai dari hal paling mendasar: kebersihan dan keteraturan lingkungan.

Namun, Fajar tak hanya berbicara soal sampah. Ia juga menyoroti tantangan sosial seperti pernikahan dini dan anak-anak dari keluarga broken home. Menurutnya, penguatan ekonomi keluarga dan pendidikan menjadi kunci.

“Saya temui anak 15 tahun sudah menikah dan punya anak. Ini tak bisa diselesaikan hanya dengan ceramah, harus ada pendekatan berbasis ekonomi dan pendidikan,” jelasnya.

Baca Juga:Cara Cepat Kaya dengan Ide Gila yang Tak Pernah Kamu PikirkanKaya Bukan Cuma Soal Uang: Ubah Cara Pikir, Uang Akan Mengikuti

Untuk itu, ia menginisiasi program Sekolah Rakyat, di mana anak-anak dari keluarga kurang mampu tetap bisa sekolah dengan catatan orang tua ikut aktif dalam koperasi desa. Gagasan ini akan disinergikan dengan program “Operasi Desa Merah Putih” sebagai gerakan pemberdayaan masyarakat menyeluruh.

0 Komentar