Desak Reforma Agraria

Desak Reforma Agraria
Massa aksi dan petani mengibarkan bendera dan memegang spanduk saat aksi damai memperingati Hari Tani Nasional di depan Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Provinsi Jawa Barat di Kota Bandung, Rabu (24/9), baru-baru ini. (Dimas Rachmatsyah / Jabar Ekspres)
0 Komentar

KOTA – Ratusan massa dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat bersama jaringan masyarakat sipil memperingati Hari Tani Nasional dengan menggelar aksi di depan Kantor Wilayah ATR/BPN Jawa Barat. Mereka menuntut percepatan reforma agraria di sejumlah desa di Kabupaten Sumedang.

Aksi ini diikuti Perkumpulan Inisiatif, LBH Bandung, STKS, Sahabat WALHI, mahasiswa, Kelompok Tani Margawindu, dan Paguyuban Cemerlang Sumedang. Massa mendesak ATR/BPN segera menyelesaikan konflik agraria yang melibatkan dua kelompok tani di Desa Citengah serta Desa Cimarias dan Cinanggerang.

Manajer Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Kelola Rakyat dan Desk Disaster WALHI Jabar, Arif Destriadi, mengatakan aksi ini merupakan bagian dari pendampingan terhadap petani yang sudah lama memperjuangkan hak atas tanah.

Baca Juga:Pengusaha Tembakau Audensi dengan Wabup SumedangMelatih Babinsa Budidaya Hortikultura

“Momentum aksi di ATR ini dalam konteks memperingati Hari Tani sekaligus mendampingi dua kelompok tani dari Desa Cimarias Cinanggerang dan Desa Citengah,” ujarnya kepada wartawan di lokasi, baru-baru ini.

Arif menjelaskan, kasus pertama menyangkut kelompok tani Margawindu di Desa Citengah, eks HGU PT Chakra seluas 217 hektare yang habis sejak 1997. Lahan itu telah masuk lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) di Kementerian ATR, tetapi redistribusi tak kunjung dilakukan.

“Setelah masuk LPRA, proses menuju redistribusi justru lama. Itu yang kami tuntut agar ditembuskan ke Kementerian ATR,” katanya.

Kasus kedua, kata Arif, terjadi di Desa Cimarias dan Cinanggerang. Dari total 500 hektare lahan, 400 hektare dikuasai PT Subur Setiadi melalui HGB yang berakhir pada 2023. Warga menolak perpanjangan izin karena perusahaan dianggap tidak memberi kontribusi sosial maupun kesejahteraan.

“HGB-nya sudah habis, tanahnya kembali ke negara. Tapi perusahaan masih mengajukan perpanjangan, padahal izin prinsip di desa pun tidak ada dan kepala desa sudah menolak,” ujar Arif.

Arif menyebut warga telah menggarap lahan sejak 1990-an. Petani menanam ubi, jagung, singkong, dan sayuran, terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan. Namun mereka kerap mendapat tekanan, bahkan ada yang dipenjara.

“Kondisi timpang, 400 hektare dikuasai perusahaan sementara warga tinggal di pinggir jurang. Harapannya ATR menolak perpanjangan HGB PT Subur Setiadi dan memasukkan kawasan ini ke prioritas reforma agraria,” pungkasnya.

0 Komentar