ERWIN MINTARA D. YASA, Sumedang Ekspres
SUMEDANGEKSPRES – Suara sorak menggema di arena Pakansari, Bogor, ketika seekor domba gagah asal Sumedang melangkah mantap di bawah sinar matahari sore. Bulu putihnya mengilap, tanduknya melingkar sempurna–simbol ketangkasan dan kebanggaan para peternak Priangan Timur. Dari balik pagar besi, para juri mengangguk puas. Domba itu bukan sekadar hewan ternak; ia adalah hasil ketekunan, doa, dan cinta budaya yang diwariskan lintas generasi.
DI bawah terik matahari Pakansari, dentum kendang berpadu dengan sorak penonton. Seekor domba jantan melangkah gagah di arena tanah, tanduknya melengkung sempurna, matanya tajam menatap lawan. Di pinggir lapangan, Haji Iik, peternak asal Sumedang, memandang bangga hewan peliharaannya yang tampil di Final Piala Presiden Seni Ketangkasan Domba Garut 2025.
Bagi Haji Iik dan ratusan peternak lain, domba bukan sekadar hewan ternak. Ia adalah simbol harga diri, ketekunan, dan warisan budaya Sunda yang diwariskan turun-temurun.
Baca Juga:Cegah Proyek Mandek, Politis PKS Usulkan Pembentukan Satker PSEL di SumedangRatusan Warga Padati GPM di Cimanggung, Harga Sembako Lebih Murah dari Pasar
“Ini bukan cuma hiburan, tapi cara kami menghormati leluhur. Domba ini kebanggaan, sekaligus sumber hidup,” ujarnya seperti dilansir dari berbagai sumber.
Ajang bergengsi tahunan yang digelar oleh Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI) itu mempertemukan domba-domba terbaik dari berbagai daerah. Tahun ini, 36 ekor domba Garut dari Sumedang ikut berkompetisi, termasuk lima domba juara kontes ternak yang menonjolkan keindahan fisik dan ketangkasan.
Namun di balik sorak sorai penonton dan denting musik tradisional, ada kegelisahan yang tak bisa disembunyikan para peternak Sumedang. Mereka merasa, pemerintah daerah belum sepenuhnya hadir dalam menjaga dan mengembangkan potensi peternakan tradisional yang sesungguhnya sarat nilai ekonomi dan budaya.
“Perhatian dari Pemkab masih sangat minim. Padahal ini potensi ekonomi rakyat. Ketangkasan domba itu bagian dari identitas Sunda,” kata Jajang Avoi, Ketua DPC HPDKI Sumedang.
Tradisi ketangkasan domba Garut sudah berakar sejak abad ke-19 di wilayah Priangan Timur. Konon, bermula dari kebanggaan bangsawan lokal yang memelihara domba gagah sebagai simbol status sosial. Dari sana lahir adu ketangkasan—bukan adu kekerasan, melainkan pertunjukan keindahan, kekuatan, dan kepiawaian hewan yang terlatih.