Sumedang sendiri dikenal sebagai salah satu daerah dengan plasma nutfah domba terbaik, hasil kawin silang antara domba lokal dengan domba Timur Tengah yang dibawa pedagang Arab pada masa lalu. Dalam beberapa dekade terakhir, seni ketangkasan domba di Sumedang tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga penggerak ekonomi desa.
Setiap kontes bisa memutar roda ekonomi kecil: pedagang pakan, pengrajin kandang, penjahit rompi domba, hingga pedagang kuliner yang memanfaatkan momentum itu. “Banyak warga hidup dari kegiatan seperti ini. Tapi kadang kami berjuang sendiri,” keluh Jajang.
Bagi para peternak, lomba seperti Piala Presiden Ketangkasan Domba Garut bukan hanya adu gengsi, tapi juga wahana seleksi genetik ternak unggul dan ajang regenerasi peternak muda. Di tengah arus modernisasi, mereka mencoba menjaga semangat gotong royong dan kebanggaan terhadap ternak lokal.
Baca Juga:Cegah Proyek Mandek, Politis PKS Usulkan Pembentukan Satker PSEL di SumedangRatusan Warga Padati GPM di Cimanggung, Harga Sembako Lebih Murah dari Pasar
“Anak muda sekarang banyak yang malu jadi peternak. Padahal di sini ada nilai, ada budaya, ada masa depan. Tapi butuh perhatian pemerintah untuk menghidupkan kembali kebanggaan itu,” kata Haji Iik.
HPDKI Sumedang berharap pemerintah daerah lebih terbuka untuk berkolaborasi. Mereka menginginkan dukungan fasilitas dasar seperti lapangan permanen, pelatihan kesehatan hewan, hingga regulasi yang mengakui seni ketangkasan sebagai bagian dari kekayaan budaya daerah.
“Kami tidak minta dana besar. Cukup ruang untuk berkreasi dan keberpihakan agar tradisi ini tak punah,” ujar Jajang.(red)