Ungkapan Penyesalan dan Kekecewaan Melalui Lagu Tradisional Sunda Berjudul "Bajing Luncat"

Ungkapan Penyesalan dan Kekecewaan Melalui Lagu Tradisional Sunda Berjudul \"Bajing Luncat\"
Ungkapan Penyesalan dan Kekecewaan Melalui Lagu Tradisional Sunda Berjudul \"Bajing Luncat\" - (Ilustrasi-Pinterest)
0 Komentar

SUMEDANG EKSPRES – Diciptakan pertama kali oleh Kosaman Djaja dan populer pada pertengahan abad ke-20 atau sekitar tahun 1950-an, lagu dengan judul “Bajing Luncat” yang artinya Tupai Melompat ini memiliki makna yang begitu menyayat hati.

Lagu ini seringkali disajikan dalam irama riang Degung atau Jaipongan namun di balik alunan musiknya yang ceria, terdapat makna lirik yang menyimpan kisah pilu tentang cinta, penyesalan, dan kekecewaan.

Makna Inti: Kisah Cinta yang Terlambat

Secara garis besar, lagu “Bajing Luncat” adalah curahan hati seorang pria yang menyesali kelalaiannya dalam menjalin hubungan.

Baca Juga:Kamu Kesulitan atau Bahkan Membenci Sayur? Suplemen Ini Mungkin Bisa Membantu Kamu untuk MengatasinyaKekuatan 'Genteng Ulah Potong': Mengupas Filosofi Persatuan Sejati dalam Lagu Sabilulungan

Pria tersebut terlambat mengambil keputusan untuk melamar kekasihnya, dan akibatnya, ia harus menelan kenyataan pahit: sang kekasih kini telah berlabuh dan akan bersanding dengan pria lain.

1. Metafora “Bajing Luncat” (Tupai Melompat)

Penggunaan judul “Bajing Luncat” adalah metafora yang unik dan mendalam. Tupai dikenal sebagai hewan yang lincah, bergerak cepat, dan sulit ditangkap.

  • Tupai sebagai Kekasih: Tupai yang lincah melambangkan kekasih yang ‘melompat’ atau pergi begitu saja, tidak menepati janji, dan berpaling ke pelukan orang lain dengan cepat.
  • Ketidakpastian dan Perubahan Cepat: Tindakan tupai melompat juga menggambarkan perubahan nasib yang terjadi tiba-tiba. Si pria menyangka sang kekasih akan selalu menunggunya (dulang tinande), namun ternyata ia berpaling secepat lompatan tupai.

2. Inti Lirik: Sesal yang Mendalam

Bagian lirik yang paling menggambarkan penyesalan adalah:

Bajing luncat, bajing luncat ka astana aduh, Abdi lepat narosan teu ti anggalna.

(Tupai melompat, tupai melompat ke pemakaman aduh,) (Aku salah melamar tidak dari dulu.)

Frasa “ka astana” (ke pemakaman) memberikan nuansa yang sangat dramatis—melambangkan bahwa kesempatan itu sudah ‘mati’ atau hilang untuk selamanya.

Penyesalan itu datang terlambat, dan ia menyalahkan dirinya sendiri karena tidak melamar sejak awal.

3. Kekecewaan dan Patah Hati

Lagu ini juga menyuarakan rasa sakit hati dan kekecewaan:

Baca Juga:Hilang Kendali, Elf Rombongan Ziarah Terguling di Wado Sebabkan 3 Orang Meninggal DuniaDigitalisasi Jadi Langkah Strategis Kementerian ATR/BPN Atasi Konflik Pertanahan

Duh teu sangka salira bet teungteuingan, Teu hawatos kanu tos sesah ngantos-ngantos.

(Aduh tak kusangka dirimu begitu tega,) (Tidak kasihan pada yang sudah susah menunggu-nunggu.)

0 Komentar