Si pria merasa dikhianati karena ia telah berkorban menanti, tetapi kekasihnya malah berpura-pura lupa pada janji hati mereka (api-api teu émut kana pasini). Rasa sakit ini digambarkan begitu hebat hingga:
Moal lipur ku sataun iyeuh nambaan-nana.
(Tidak akan sembuh/hilang meski setahun aduh mengobatinya.)
Di luar kisah cintanya yang tragis, “Bajing Luncat” mengajarkan beberapa pesan penting yang relevan dengan nilai-nilai budaya Sunda:
- Ketegasan dalam Bertindak: Lagu ini menjadi pengingat bahwa dalam urusan penting, termasuk cinta dan komitmen, ketegasan dan kecepatan mengambil keputusan sangat diperlukan. Keraguan dan penundaan dapat mengakibatkan hilangnya kesempatan yang berharga.
- Menghargai Janji (Pasini): Kisah ini menyoroti pentingnya memegang janji (pasini) dalam hubungan. Pelanggaran janji dapat menimbulkan kekecewaan yang mendalam dan sulit disembuhkan.
- Kearifan Lokal dalam Musik: Lagu ini menunjukkan kekayaan musik tradisional Sunda yang mampu mengemas emosi manusiawi seperti kesedihan dan penyesalan dalam melodi yang indah dan terkadang ceria, menjadikannya warisan budaya yang tak lekang oleh waktu.
“Bajing Luncat” bukan hanya sekadar tembang daerah, melainkan cermin refleksi kehidupan tentang peluang yang terlewat, dan luka hati yang sulit diobati.
