Di sisi lain, kebijakan Jumat Ngangkot kini menghadapi ujian legitimasi. Bila pemerintah daerah tidak tegas, aturan itu hanya akan tinggal slogan. Tanpa penegakan disiplin yang nyata, kebijakan semacam ini mudah dipermainkan dan kehilangan makna. ASN yang patuh pun akhirnya akan merasa kebijakannya tidak adil karena yang taat tak dihargai, sementara yang melanggar bebas tanpa konsekuensi.
Padahal, semangat di balik program ini sangat rasional mengurangi emisi karbon, melestarikan lingkungan, dan menggerakkan ekonomi sopir angkot. Namun tanpa komitmen kolektif, semua itu akan berakhir sebagai gimmick birokrasi indah di spanduk, kosong di praktik.
Ketaatan ASN seharusnya tidak berhenti di ruang apel atau laporan kinerja, melainkan terlihat dari tindakan nyata di lapangan. Ketika Bupati saja mau turun tangan naik angkot, maka tidak ada alasan bagi bawahannya untuk tetap bersikeras dengan kemewahan pribadi. Dalam konteks ini, pelanggaran Jumat Ngangkot bukan sekadar indisipliner, tapi bentuk nyata dari kemunduran etika pelayanan publik. (kos)
