Fakta ini menunjukkan adanya aspek politik yang kuat dalam proses penetapan, yang dapat “mengabaikan” tuntutan moral dan sejarah non-yuridis.
3. Dukungan Lembaga Keagamaan dan Sikap Politik yang Berbeda
Beberapa organisasi besar keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), pernah menyatakan dukungan agar semua mantan Presiden RI yang telah wafat dapat diberi gelar Pahlawan Nasional.
Sementara itu, Muhammadiyah sempat terbelah sikapnya, dan beberapa partai politik, seperti PDI Perjuangan (PDIP), menunjukkan sikap penolakan halus dengan ketidakhadiran tokoh pentingnya (seperti Puan Maharani) saat upacara penganugerahan.
4. Penetapan Bersamaan dengan Pahlawan Kontras
Baca Juga:Sengketa Tanah di Surabaya dengan Komisi II DPR RI, Sekjen Kementerian ATR/BPN: Kami Pastikan PenyelesaiannyaBupati Imbau Percepatan Aktivasi IKD di Seluruh Desa dan Kelurahan Sumedang
Salah satu fakta ironis adalah penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2025 dilakukan bersamaan dengan tokoh-tokoh yang mewakili sisi sejarah yang berbeda, seperti Presiden ke-4 RI Gus Dur dan aktivis buruh Marsinah.
Marsinah dikenal sebagai korban penculikan dan pembunuhan yang kasusnya terjadi pada masa Orde Baru—suatu kontras tajam yang memperkuat narasi perdebatan sejarah.
5. Implikasi Hukum dan Rekonsiliasi
Penetapan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto dikhawatirkan memiliki implikasi serius terhadap upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa Orde Baru.
Gelar ini dapat dilihat sebagai upaya rekonsiliasi sepihak yang melukai perasaan korban dan keluarga penyintas, dan berpotensi mengaburkan atau melegitimasi versi sejarah yang problematis.
