Polemik Thrifting dan Usaha Mikro: Ancaman atau Peluang Baru?

Polemik Thrifting dan Usaha Mikro: Ancaman atau Peluang Baru?
Polemik Thrifting dan Usaha Mikro: Ancaman atau Peluang Baru? - (ISTI)
0 Komentar

SUMEDANG EKSPRES, BISNIS – Polemik thrifting dan usaha mikro kian memanas.

Di satu sisi, bisnis pakaian bekas impor (thrifting) dilarang pemerintah dengan alasan melindungi produk lokal dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dari gempuran barang murah.

Namun, para pelaku thrifting yang notabene juga banyak dari kalangan usaha mikro, merasa dikorbankan.

Mengapa Thrifting Dilarang?

Inti dari larangan ini adalah kekhawatiran produk impor ilegal akan mematikan industri garmen dan tekstil domestik, termasuk UMKM lokal.

Baca Juga:PLN Sumedang Berkomitmen Dukung dan Menjadi Mitra Strategis Dalam Program Pembangunan Pemda SumedangJadi Relawan Gempa Cianjur, Ibu Eva Tergugah untuk Alih Media ke Sertifikat Elektronik

Pemerintah berargumen, barang bekas impor seringkali tidak memenuhi standar kesehatan dan keamanannya, selain merusak harga pasar.

Menteri Keuangan bahkan dengan tegas menolak legalisasi, meskipun pedagang siap membayar pajak, demi menghadang impor ilegal.

Sisi Lain Pelaku Thrifting: Mereka Juga UMKMPedagang thrifting berdalih bahwa pangsa pasar mereka berbeda.

Konsumen yang berburu barang thrift mencari branded item dengan harga terjangkau atau pakaian unik yang tidak tersedia di pasar lokal.

Mereka membantah menjadi pembunuh UMKM, justru menuding impor pakaian baru dari China-lah yang menguasai mayoritas pasar.

Pelaku thrifting meminta legalisasi agar usaha mereka bisa diatur dan berkontribusi melalui pajak.

Transisi dan Substitusi Produk Pemerintah melalui Kementerian UMKM telah menyiapkan solusi transisi dengan mengalihkan pedagang thrifting untuk menjual produk lokal.

Baca Juga:Pembangunan Pasar Cimalaka Akan Berdampak Positif Bagi MasyarakatPembangunan Pasar Cimalaka Diharapkan Jadi Pilot Project di Sumedang

Sekitar 1.300 merek lokal disiapkan untuk mengisi pasokan, memberikan alternatif produk bagi pedagang agar tetap berbisnis.

Tantangan terbesarnya adalah menyesuaikan paket bisnis dan harga agar cocok dengan segmen pasar dan daya beli pedagang thrift yang sudah terbiasa dengan model bisnis mereka.

Pemerintah perlu menyusun kebijakan adaptif, memberikan masa transisi yang jelas, serta memastikan produk pengganti (substitusi) memiliki daya saing yang setara.

Jika diatur dengan bijak, polemik ini bisa diubah menjadi peluang penguatan ekosistem ekonomi sirkular dan perlindungan produk dalam negeri.

0 Komentar