CIMANGGUNG — Rencana pembangunan Puskesmas Dengan Tempat Perawatan (DTP) Cimanggung dengan anggaran mencapai Rp10,45 miliar memantik kritik keras dari praktisi hukum Suryadinata. Ia menilai proyek sebesar itu sangat potensial menjadi ruang penyimpangan apabila tidak dikelola dengan prinsip transparansi dan pengawasan ketat.
Suryadinata menegaskan bahwa publik sudah terlalu sering mendengar ungkapan manis pejabat yang menyebut pembangunan adalah “demi masyarakat”, tetapi realitasnya justru kerap diselimuti permainan kepentingan.
“Saya sudah muak mendengar alasan demi masyarakat mendapat fasilitas kesehatan lebih baik. Memang bagus, tetapi jangan jadikan alasan itu topeng. Proyek Rp10,45 miliar ini harus dibuktikan benar-benar transparan, bukan sekadar seremoni peletakan batu pertama,” tegasnya.
Baca Juga:Ancaman Nyata Bagi Warga HilirDARURAT! Tambang, Alih Fungsi Lahan, dan Lemahnya Pengawasan Jadi Ancaman Baru Jawa Barat
Ia menuntut Pemerintah Kabupaten Sumedang dan dinas teknis terkait untuk membuka seluruh proses secara terbuka. Menurutnya, masyarakat berhak mengetahui siapa pemenang lelang, siapa konsultan pengawas, dan bagaimana sistem pengawasan proyek dijalankan.
“Penentuan pemenang tender sudah bukan menjadi rahasia umum, banyak pihak yang bermain. Jangan anggap masyarakat tidak mengerti. Yang dibutuhkan itu bukti nyata, bukan janji,” ujar Suryadinata.
Ia menekankan bahwa pembangunan Puskesmas DTP fasilitas layanan kesehatan yang memiliki ruang rawat inap dan standar operasional lebih lengkap dibanding puskesmas biasa tidak boleh menjadi lahan mark up, penyalahgunaan kewenangan, atau gratifikasi. Apalagi, layanan kesehatan primer dengan tempat perawatan menjadi kebutuhan utama warga Cimanggung dan sekitarnya.
Suryadinata memastikan dirinya akan melakukan sosial kontrol secara ketat terhadap pembangunan Puskesmas DTP Cimanggung selama periode 2026–2027. Tidak hanya itu, ia memberikan masukan keras agar pemerintah menjalankan prinsip-prinsip berikut:
Publikasikan dokumen lelang, kontrak kerja, RAB, dan progres pekerjaan secara berkala agar publik bisa mengawasi. Libatkan masyarakat dan tokoh lokal sebagai bagian dari mekanisme kontrol. Jangan alergi kritik, karena kritik menjaga proyek tetap berada pada standar yang benar. Setiap perubahan spesifikasi atau anggaran harus diumumkan, bukan ditutup-tutupi.
Lebih tegas lagi, ia meminta aparat penegak hukum untuk turun mengawasi sejak awal, bukan setelah terjadi persoalan. “Proyek Rp10,45 miliar ini tidak boleh jadi bancakan. Aparat hukum harus mengawal sejak tahap perencanaan. Kalau ada penyimpangan, proses hukum wajib berjalan,” ujarnya.
