SUMEDANG EKSPRES – DI tengah geliat pembangunan dan deretan proyek infrastruktur yang terus dipamerkan, wajah lain Bandung Barat justru tersembunyi di balik lorong-lorong kampung. Di Kampung Pasirwangi, Desa Singajaya, Kecamatan Cihampelas, kemiskinan ekstrem masih menjadi keseharian: sunyi, menahun, dan nyaris tak tersentuh program pemberdayaan.
Mayoritas warga Kampung Pasirwangi menggantungkan hidup dari kerajinan layang-layang, usaha tradisional yang sepenuhnya bergantung musim. Saat kemarau, dapur masih mengepul. Begitu hujan turun, penghasilan lenyap.
Dede (44) menjadi potret paling gamblang. Ia hidup bersama istri dan empat anaknya di rumah sempit berukuran sekitar 4×3 meter. Enam orang berbagi ruang, tanpa sekat, tanpa kepastian.
Baca Juga:Kemiskinan Jawa Barat: Butuh Aksi Nyata, Bukan Sekedar Angka!Beban Ganda Kemiskinan di Jabar, Beras Mahal dan Upah Murah Jepit 3,65 Juta Warga
“Tiap hari bangun pagi mikirin mau makan apa. Besok gimana, anak sekolah gimana,” ujar Dede lirih, Sabtu (20/12).
Tiga anaknya masih sekolah. Anak SMP berjalan kaki dua kilometer setiap hari. Anak kelas 10 SMA menempuh jarak lebih dari tiga kilometer ke SMAN 1 Cililin. Anak ketiganya, kelas 12, harus berjalan sekitar 1,5 kilometer menuju PKBM Cihampelas untuk Paket C.
“Kalau hujan tetap jalan kaki. Nggak ada ongkos. Motor ada, tapi dipakai buat jualan,” katanya.
Penghasilan Dede sepenuhnya bergantung pada layang-layang. Namun angka yang didapat jauh dari layak.
“Kalau dirata-ratakan, sebulan paling Rp500 ribu. Itu juga kalau lagi musim,” ujarnya.
Untuk bertahan, ia dan anaknya mencoba berjualan ladu, dodol, dan ketan. Omzet harian bisa mencapai Rp200 ribu, tetapi hampir seluruhnya kembali menjadi modal.
“Bersihnya cuma cukup buat makan sama jajan anak-anak. Nabung nggak pernah,” katanya.
Baca Juga:Haru Family Day Lapas Sumedang, Warga Binaan Basuh dan Cium Kaki Ibu di Momen Hari IbuKelurahan Situ Tingkatkan Kapasitas Ketua RW untuk Perkuat Kelembagaan Kewilayahan
Bantuan yang diterima keluarga ini hanya BPNT Rp600 ribu setiap tiga bulan. Membantu, tetapi tidak mengubah nasib.“Bantuan itu cuma sementara. Yang berat itu hidup tiap hari,” ucapnya.
Zaelani, warga lain Kampung Pasirwangi, merasakan hal serupa. Saat musim hujan, harga layangan jatuh drastis. “Satu layangan dijual ke bandar cuma Rp300. Itu jauh dari layak,” katanya.
Padahal proses pembuatannya panjang dan berbiaya. “Cari bambu, beli kertas, lem, motong, ngerakit. Tenaga keluar, tapi hasil nggak sebanding,” ujarnya.
