Dalam naskah tersebut dijelaskan lima kemakmuran seluruh negeri yang dijaga, terdiri dari: Isora yang bertempat di kahyangan sebelah wetan/timur (Purwa), putih warnanya; Daksina (kidul) ‘selatan’, tempat tinggal Hyang Brahma, merah warnanya; c. Pasima (kulon) ‘barat’, tempat tinggal Hyang Mahadewa, kuning warnanya; Utara (kalér ‘utara’) tempat tinggal Hyang Wisnu, hitam warnanya; dan Madya (tengah), tempat Hyang Siwa, aneka macam warnanya.
Sementara gambaran kosmologis dalam naskah Sanghyang Raga Dewata sejalan dengan gambaran kosmos filsafat Pancasila. Gambaran ini dapat ditemukan pada keempat sila yang bersangkutan, dengan dimensi horisontal yaitu mulai dari sila kedua sampai kelima.
“Manusia menempati keempat sila horisontal dalam sila Pancasila. Tetapi bersamanya diasumsikan adanya substansi-substansi infrahuman, yang psikis-sensitif, yang biotik, dan yang fisiokimis,” jelas Elis.
Baca Juga:Kendaraan Besar Beroperasi di Jalan Sumedang – Wado. Warga Resah Karena Ancam KeselamatanTingkat Konsumsi Ikan di Jawa Barat Masih di Bawah Rata – rata Tingkat Konsumsi Nasional
Dosen Program Studi Sastra Sunda ini menuturkan, manusia merupakan makhluk individual sekaligus sosial; demikian pula secara lebih universal berlaku bagi segala substansi kosmis di samping manusia.
“Pada akhirnya, keempat sila (sila ke-2 sampai ke-5) tersebut mengacu pada sila pertama, yakni sila Ketuhanan Yang Mahaesa. Hal ini sejalan pula dengan apa yang digambarkan dalam naskah Sanghyang Raga Dewata, bahwa segala sesuatu berpusat kepada Sanghyang Tunggal (Tuhan Yang Mahaesa),” kata Elis.
Sistem Pemerintahan Sunda
Implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat tecermin melaui sistem pemerintahan Sunda masa lalu. Sistem pemerintah Sunda dikenal dengan istilah Tri Tangtu di Buana dengan tiga struktur pemerintahan utama, yaitu prabu, rama, dan resi.
Dijabarkan Elis, prabu bertindak selaku eksekutif (presiden) yang harus ngagurat batu atau teguh/kukuh, taat, dan patuh dalam menjalankan hukum. Rama, merupakan golongan yang dituakan sebagai wakil rakyat (legislatif) yang harus ngagurat lemah atau berwatak menentukan hal mesti dipijak. Sikap ini juga mesti tecermin pada keluarganya dan tokoh masyarakat.
Sementara resi sebagai penyelenggara hukum, agama, dan darigama negara (yudikatif/mahkamah agung). Golongan merupakan para cerdik, cendekia, ulama, pendidik, hingga orang-orang yang mampu mencerdaskan bangsa.
Sistem pemerintahan seperti ini masih dapat dijumpai di berbagai entitas masyarakat adat Sunda, seperti di masyarakat adat Kanekes. Sementara sistem “Tri Tangtu di Bumi” masih berlaku di masyarakat adat Kampung Naga yang meliputi tata wilayah (wilayah), tata wayah (waktu), dan tata polah (tingkah laku), yang dipegang oleh Kuncén, Lebé, dan Punduh. (nur/rls)