Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (HR. Abu Daud, no. 4031).
Pada hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewanti-wantiumat Islam terhadap perbuatan tasyabbuh terhadap non-muslim. Dalam kaidah Bahasa Arab (tepatnya adalah ilmu Shorof), kata tasyabbuh berasal dari wazan Tafa’ul, yang bermakna muthawa’ah (menurut), takalluf (memaksa), dan juga tadarruj (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan. Sehingga, dari wazan ini kata tasyabbuh memiliki faidah perbuatan yang dilakukan sedikit demi sedikit, yang awalnya barangkali ia merasa terpaksa/ikut-ikutan dengan perbuatan tersebutsampai kemudian ia menurut dan terbiasa mengerjakannya.
Dengan kata lain, siapa saja menyerupai suatu kaum maka ia lama kelamaan akan tunduk kepada mereka. Oleh sebab itu,hendaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan dalam melakukan perbuatan yang menyerupai orang non-muslim, sebab ia merupakan pintu menuju ketundukan kepada mereka. Sehingga, sikap tegas dengan kaidah saddud dzari’ah (menutup pintu keburukan) merupakan suatu kaidah yang tepat dalam kasus ini agar akidah kita tidak tergoyahkan akibat ikut-ikutan mengucapkan selamat Natal sebagaimana yang dilakukan oleh umat Nasrani.
Baca Juga:Chord To The Bone – Pamungkas, Nada Dasar F: Take Me Home, I’m FallinGenta Fajar, Jadi Ketum PORSI Pertama
Dengan demikian, umat Islam yang mengucapkan selamat Natal kepada umat Nasrani berarti telah melakukan tasyabbuh sekaligus memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat kristiani tentang kebenaran peristiwa natal. Sehingga, kasus ini masuk juga ke dalam ranah akidah yang mengkompromikan antara tauhid dengan syirik. Atas dasar inilah hukum ucapan tersebutdiharamkan secara tegas.
Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Ibn Baz, Ibnu Utsaimin, Buya Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah), Buya Yahya (Habib Yahya Zainul Ma’arif), Ibrahim bin Ja’far, Ja’far At-Thalhawi, Khalid Basalamah, Abdul Somad, Adi Hidayat, dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, ada pula yang membolehkan. Maka, perbedaan semacam ini hendaknya tidak boleh menjadikan internal umat Islam di Indonesia semakin terpecah hanya diakibatkan oleh perbedaan pemilihan sikap dalam kasus ini.