sumedangekspres – Sultan Hidayatullah II adalah salah satu pemimpin dari Kerajaan Banjar yang berada di Kalimantan Selatan.
Dia naik takhta Kerajaan Banjar usai terjadinya kemelut terkait penerus kepemimpinan negara.
Pada 1860, Sultan Hidayatullah II juga pernah terlibat konflik dengan Belanda. Hal tersebut menyebabkan Belanda secara sepihak menghapus Kesultanan Banjar.
Baca Juga:Dahi Balita di NTT Tertembak Senapan Sang Ayah hingga TewasNarapidana Anak di Lampung Tewas Dipukuli Teman Sekamarnya
Sultan Hidayatullah II lahir pada 1822 di Martapura. Awalnya, dirinya diberi nama Gusti Andarun oleh kedua orangtuanya.
Dia ialah anak dari Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah dan Ratu Siti binti Pangeran Mangkubumi Nata.
Sultan Adam merupakan bangsawan istana Banjar. Diriwayatkan pula bahwa Gusti Andarun merupakan pewaris takhta Banjar melalui wasiat dari kakeknya, Sultan Adam.
Pada 1852, terjadi polemik perebutan hak atas takhta Sultan di Banjar.
Polemik ini memunculkan tiga kandidat penerus Kesultanan Banjar. Mereka adalah Gusti Andarun, Gusti Wayuri atau Tamjidullah II, dan Prabu Anom.
Meski demikian, Tamjidullah II diangkat oleh Belanda sebagai Sultan Muda pada Agustus 1852.
Konflik penobatan
Campur tangan Belanda dalam pengangkatan Sultan Banjar berawal dari status Kesultanan Banjar yang menjadi tanah perlindungan (protektorat) dari VOC-Belanda sejak 13 Agustus 1787 di era Sultan Nata Alam.
Meski demikian, Gusti Andarun harusnya menjadi Sultan Banjar karena berdasarkan surat wasiat.
Baca Juga:Dikerumuni Banyak Orang di Citayam Fashion Week, Sikap Jeje Slebew jadi SorotanAniaya Adik Kandungnya hingga Babak Belur, Pria di Gowa Sembunyi di Bawah Ranjang Saat Ditangkap
Untuk menghindari konflik, Belanda bersiasat dengan mengangkat Gusti Andarun sebagai Mangkubumi untuk mengatur pemerintahan dengan gelar Pangeran Mangkubumi pada Oktober 1856.
Pada 1858, muncul gerakan untuk melawan kepemimpinan Tamjidullah II pada 1859.
Saat itu, Gusti Andarun memiliki dasar wasiat dan keris Abu Gagang sebagai tanda sah bahwa ia adalah pemimpin Banjar selanjutnya.
Pada Juni 1859, Belanda melengserkan Tamjidullah II dan digantikan oleh Gusti Andarun yang bergelar Sultan Hidayatullah II.
Pada 1860, Belanda secara sepihak mengumumkan menghapus Kesultanan Banjar. Hal itu kemudian membuat pecah Perang Pamaton hingga berakhir pada 1906.
Hal itu dibuktikan dengan Sultan Hidayatullah II atau Gusti Andarun menyerah kepada Belanda.
Ia bersama keluarga dan pengikutnya kemudian dibawa ke Batavia lalu dipindah ke Cianjur untuk diasingkan,
Di Cianjur, Gusti Andarun berperan dalam menyebarkan agama Islam dan melakukan kegiatan dakwah.