Stasiun Tanjungsari, dulunya merupakan bagian dari proyek jalur perlintasan kereta api Belanda yang menghubungkan wilayah Rancaekek, Jatinangor, Tanjungsari, Citali hingga ke Sumedang.
“Iya kalau kata orang tua sih, Gedung Juang 45, katanya bekas stasiun kereta api,” ungkap Doni, warga setempat jalan Staat Spoors, atau lebih dikenal Jalan SS.
Doni, menceritakan kereta yang melintas ke Tanjungsari dulu diperuntukan untuk membawa hasil bumi dari wilayah Tanjungsari, Jatinangor menuju Rancaekek. Seperti di ketahui Jatinangor dulunya merupakan area hijau dengan bukti peninggalan Menara Loji, menara pengingat waktu para pekerja perkebunan
Baca Juga:Sumedang Siap Terima Vaksin Booster KeduaParkir Pasar Parakamuncang Ditertibkan
“Konon kereta itu buat mengangkut hasil perkebunan, Jatinangor sampai Tanjungsari,” jelas Doni
Disebutkan Dalam buku Indische Spoorweg Politiek atau Politik Perkeretaapian Hindia (S.A Reitsma,1925), bahwa jalur Rancaekek, Jatinangor, Tanjungsari, Citali hingga ke Sumedang merupakan jalur yang dibangun untuk memperkuat pertahanan Belanda di pulau Jawa.
Pada tahun 1917/1918, jalur Rancaekek hingga Jatinangor sudah dioperasikan. Sementara untuk jalur Jatinangor hingga Citali hampir selesai pengerjaannya.
Dalam membangun jalur Citali-Sumedang, sedikitnya diperlukan anggaran sebesar 4,5 juta gulden. Anggaran itu, belum termasuk anggaran persiapannya sebesar 500 ribu gulden.
Jika jalur Sumedang selesai dibangun maka akan dilanjutkan untuk pembukaan jalur Sumedang-Kadipaten, Majalengka. Lalu, jalur penghubung antara Bandung dan Cirebon.
Jalur Citali hingga Sumedang batal dibangun lantaran faktor keuangan, juga akibat keburu masuknya era penjajahan Jepang di Indonesia. Jalur kereta api tersebut akhirnya di non aktifkan sekitar tahun 1942 dan rel nya di bawa oleh penjajah Jepang untuk membuat jalur Kereta Api Saketi-Bayah yang ada di provinsi Banten, karena Penjajah Jepang menganggap Sumedang tidak terlalu penting. (kga)