POLITIK IDENTITAS DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT CINTA
(CATATAN KRITIS MENUJU MUSYDA DPD IMM SULSEL)
Oleh : Saifullah Bonto (Mahasiswa S2 Ilmu Politik Universitas Padjaran/ Aktivis IMM Unpad/ Demisioner Ketum PC IMM Pangkep Sulsel)
Kecenderungan untuk menampakkan sentimen identitas dalam setiap kontestasi politik menjadi salah satu opsi sebagai alat yang paling ampuh untuk mempengaruhi kondisi pemilih, sehingga ke depannya dengan mulus bisa mendapatkan legitimasi kekuasaan. Hal ini tak lepas dari paradigma yang mendepankan primordialisme baik dalam aspek identitas kebudayaan, agama mau pun aspek identitas profesi. Bahkan tak jarang aktor-aktor politik lebih mengedepankan identitas yang lebih ekstrem yang beranggapan semisal dalam suatu daerah harus keturunan bangsawan atau keluarga tertentu untuk memimpin daerah tersebut. Sedangkan daerah tersebut notabenenya bukan daerah istimewa dan tentunya demokratisasi harus berjalan sesuai dengan mekanisme undang-undang yang berlaku.
Hal tersebut bisa dikatakan sebagai pewajahan politik identitas. Dikutip dari Manuel Castells dalam Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi mendefinisikan politik identitas sebagai partisipasi individual pada kehidupan sosial yang lebih ditentukan oleh budaya dan psikologis seseorang di mana konstruksi identitas berada pada konteks yang selalu diwarnai dengan relasi kekuasaan. Dalam literatur lain, Widyawati mengutip apa yang disampaikan oleh Yeni Sri Lestari bahwa politik identitas yang didasarkan pada kesamaan identitas seringkali menjadi penyebab utama munculnya konflik politik terutama berkaitan dengan ketegangan antara kelompok superior dan inferior ataupun antara mayoritas dengan minoritas.
Kondisi semacam ini menimbulkan kekhawatiran akan terciderainya perhelatan politik ketika politik identitas terus mengemuka. Riset sosial yang dilakukan oleh Ari Ganjar Herdiansah beserta kawan-kawan mengungkapkan bahwa kuatnya sentimen identitas akan mempengaruhi opini publik dengan melakukan mobilisasi pendukung yang didasarkan hanya identitas kelompok tertentu dalam perhelatan politik. Hal ini terkesan jauh dari kondisi ideal yang harusnya lebih fokus pada ide-ide substantif dan saling menerjemahkan visi misi kandidat dibandingkan isu-isu identitas kelompok.
Baca Juga:Perda APBD Perubahan Jabar 2022 DisahkanCinta Laura: Ajak Generasi Muda Peduli Lingkungan Ikuti BRI, The Best ESG’s Mover
Kekhawatiran lainnya dari politik identitas yang melahirkan sentimen identitas ini akan berimplikasi negatif terhadap pola perilaku individu dan sekelompok orang dalam berinteraksi di kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Indonesia yang multikultural karena tidak sesuai dengan kondisi waktu dan tempatnya. Sentimen identitas akan berimplikasi positif apabila dalam suatu kondisi tertentu terjadi penindasan dari oknum-oknum seperti yang dilakukan penjajah dahulu. Berbagai elemen identitas pada saat itu baik identitas budaya, agama mau pun profesi meleburkan diri dalam satu identitas yakni atas nama prikemanusiaan, kesamaan nasib yang ingin lepas dari kungkungan penjajah. Jika masyarakat pada saat itu cenderung masih mengedepankan identitas primordialnya dan masih membeda-bedakan, maka tujuannya tidak akan tercapai malah akan terus terjadi konflik sosial diinternal.