POLITIK IDENTITAS DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT CINTA

POLITIK IDENTITAS DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT CINTA
Saifullah Bonto (Mahasiswa S2 Ilmu Politik Universitas Padjaran/ Aktivis IMM Unpad/ Demisioner Ketum PC IMM Pangkep Sulsel)/ist
0 Komentar

Cara berfikir membeda-bedakan berdasarkan asal-usul atau paradigma primordialisme ini kata Prof. Yunahar Ilyas adalah paradigma iblisisme. Iblis mengedepankan asal-usul penciptaannya yang berasal dari api dan merasa paling hebat sehingga menolak untuk menghormati Adam (manusia pertama) yang asal-usul penciptaannya dari tanah. Cara berfikir seperti ini akan membuat individu atau sekelompok orang cenderung memandang rendah individu-individu atau kelompok-kelompok lain yang menjurus pada rasisme, intoleran dan konflik-konflik sosial lainnya.

Patologi-patologi sosial ini dapat diminimalisir jika salah satu fokus kajian filsafat bisa dikejawantahkan dalam kehidupan bermasyarakat yakni cinta atau mahabbah. Cinta atau mahabbah (hubbun) menurut salah satu alim ulama Indonesia Adi Hidayat memiliki makna “benih yang baik”. Artinya, benih yang baik akan menumbuhkan hal-hal yang baik pula. Bahkan cinta dalam pandangan filsuf Indonesia Fahruddin Faiz, menerangkan bahwasanya puncak kebenaran dan kebaikan itu ada pada cinta karena cinta adalah nilai hirarki tertinggi dalam kehidupan.

Erich Fromm memiliki semacam konsep cinta yang dapat mengikis ego primordialisme dan cara berfikir yang cenderung membeda-bedakan. Fromm menyebutnya sebagai cinta terhadap sesama, menurutnya, jenis cinta ini merupakan pondasi dari semua jenis cinta. Kepedulian, rasa hormat, pemahaman terhadap sesama dan upaya untuk melestarikan kehidupan merupakan cara kerja dari jenis cinta ini. Cinta terhadap sesama ini menciptakan solidaritas dan keutuhan manusia. Perbedaan asal-usul tak begitu berarti jika dikomparasikan dengan identitas diri sebagai manusia.

Baca Juga:Perda APBD Perubahan Jabar 2022 DisahkanCinta Laura: Ajak Generasi Muda Peduli Lingkungan Ikuti BRI, The Best ESG’s Mover

Sebagaimana yang disampaikan oleh Gunawan dalam studi tinjauan filosofisnya tentang problematika jatuh cinta mengakatakan bahwa cinta juga merupakan kenyataan universal. Relasi dalam cinta adalah relasi yang menunjukkan harmonisasi, tak ada kebencian antar sesama manusia. Relasi dalam cinta tak memperdulikan gender, suku, agama mau pun status sosial. Dalam cinta, berlaku hukum universalitas bahwa kita semua sama, sama-sama memiliki identitas kemanusiaan.

Konsep cinta yang dijelaskan oleh beberapa ahli tadi sangat berperan penting jika kita bawa masuk ke dalam ranah perhelatan politik, khususnya yang akan dihadapi oleh kader-kader IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) Sulawesi Selatan pada Musyawarah Daerah Oktober 2022 mendatang. Para kandidat yang bersaing nantinya diharapkan tidak lagi berangkat dari sentimen identitas primordialisme. Semisal menggiring kader-kader agar memilih harus berdasarkan kampus PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah) atau Non-PTM, memilih kandidat Calon Ketua Umum (Caketum) harus berdasarkan dari Kota Madya atau bahkan memilih kandidat Caketum harus berdasarkan fakultas-fakultas tertentu dari suatu kampus.

0 Komentar