Kabupaten Tangerang (“Karesidenan”) yang meliputi sebagian besar Kota Tangerang modern ditambah beberapa daerah lain seperti Kota Tangerang Selatan).
Konflik antara Sumedang dan Cirebon dipicu oleh perselisihan tentang siapa yang berhak memungut pajak.
Masalah ekonomi kedua kota juga berkontribusi pada konflik ini, begitu pula persaingan untuk industri pembangunan.
Akhirnya berakhir ketika pemerintah kolonial Belanda melakukan intervensi pada tahun 1907.
Baca Juga:Sejarah Sumedang Yang Tidak Diketahui Pada Jaman KolonialJam Pelayanan di PA Sumedang Selama Ramadan
Pada saat itu terdapat dua sistem pemerintahan yang berbeda di Jawa: satu dikendalikan oleh penguasa lokal (disebut “delegasi”) dan satu lagi dikendalikan oleh pejabat Belanda (“administrasi sipil”).
Sistem pendelegasian didasarkan pada hukum Islam; namun, kebanyakan orang buta huruf sehingga mereka tidak dapat membaca kontrak mereka dengan pedagang asing atau memahami kewajiban mereka berdasarkan kontrak tersebut.
Selain tidak bisa membaca kontrak sendiri, banyak petani Jawa yang tidak mampu membayar utangnya karena Indonesia hanya menghasilkan cukup makanan untuk penduduknya sendiri selama musim-musim tertentu—tidak memiliki sisa panen yang cukup setelah musim tanam berakhir setiap tahun.
Konflik Sumedang dan Cirebon merupakan sejarah panjang persaingan antara dua kota di Jawa Barat. Setelah itu, kedua kota bersaing memperebutkan sumber daya seperti suplai air dan lahan pertanian.
Kesimpulan
Sejarah konflik sumedang cirebon merupakan sejarah panjang persaingan antara dua kota di Jawa Barat. Persaingan antara Sumedang dan Cirebon dimulai pada abad ke-19, ketika kedua kota tersebut bersaing untuk menguasai jalur perdagangan melalui wilayah tersebut. Di zaman modern, konflik mereka sebagian besar didorong oleh faktor ekonomi seperti pariwisata dan pertanian; namun, ketegangan ini juga diperburuk oleh perbedaan agama.