sumedangekspres– Sejarah mengenai jembatan cincin Jatinangor, Sumedang terkenal sebagai kota yang sarat akan perguruan tingginya membuat sebuah kota kecil di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat bernama Jatinangor ini seolah menjadi kota idaman setiap muda-mudi yang hendak melanjutkan pendidikannya ke bangku perkuliahan.
Walaupun hanya ada satu main road di kota yang terletak di sebelah timur Bandung ini, tapi siapa sangka kehadiran beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia telah mengubah takdirnya, yang semula hanyalah sebuah kota kecil yang menjadi penghubung antara Bandung – Sumedang, kini telah berevolusi menjadi kota yang ramai oleh anak kuliahan.
Nah, kamu sudah tidak asing lagi dengan salah satu jembatan peninggalan Belanda yang kerap diidentikkan dengan cerita mistis. Ya, Jembatan Cincin. Sebenarnya, apa sejarah yang menyelimuti jembatan yang berdiri di atas lahan persawahan warga ini? Lalu apa yang membuat para mahasiswa atau warga enggan melintasi jembatan ini ketika hari mulai gelap?
Baca Juga:Mengungkap Sejarah Budaya Sumedang dan Menjelajahi Berbagai Gedung yang Menampilkan Koleksi Berharga di Museum Prabu Geusan Ulun.Harga Beat 2023, Inilah Varian Terbaru Motor Honda Beat Yang Jarang Orang Ketahui
Sebagaimana yang dilansir dari berbagai laman sumber, jembatan ini dibangun oleh perusahaan kereta api milik Belanda, Staat Spoorwagen Verenidge Spoorwegbedrijf pada tahun 1917 silam. Tujuannya sederhana, yaitu untuk menghubungkan daerah Rancaekek dan Tanjungsari, sedangkan keretanya sendiri menunjang kelancaran akomodasi warga dan hasil komoditas utama di sana yaitu karet.
Pada awalnya, Staat Spoorwagen Verenidge Spoorwegbedrijf hanya akan membangun jalur kereta yang menghubungkan Rancaekek – Jatinangor saja yang panjangnya kurang lebih 5,25 km untuk keperluan mengangkut hasil perkebunan. Namun, pihak militer Belanda kala itu meminta agar pembangunan jalur kereta juga diperuntukkan bagi para warga. Alhasil, diperpanjanglah rencana pembangunannya hingga ke Tanjungsari dan Citali sepanjang 11,5km.
Keterbatasan dana akhirnya memaksa para penguasa kala itu untuk kembali merubah rencananya dan mengurungkan niat mereka membangun jalur kereta hingga daerah Citali. Akhirnya, jalur Rancaekek – Jatinangor – Tanjung Sari resmi beroperasi pada tahun 1921 dan digunakan untuk mengangkut teh dan hasil bumi dari daerah Sumedang Barat. Adapun stasiun yang menunjang pengoperasian di jalur ini antara lain Stasiun Rancaekek, Halte Bojongloa, Halte Jatinangor, Halte Cileles, dan Stasiun Tanjungsari.