sumedangekspres – Berkisah tentang perjalanan hidup Ning Umi Laila adalah seperti melihat gemintang yang perlahan menerangi langit malam.
Dengan dakwahnya yang kian merakyat, ia membawa sinar kesadaran kepada banyak jiwa melalui gerak tubuh dan suara merdunya.
Sorot mata Ning Umi Laila tak hanya memancarkan pesona fisik, tapi juga kebijaksanaan jiwa.
Baca Juga:Industri Elektronik Jepang: Memukau Dunia melalui Inovasi Kamera HP dan Video 4KModel Tunik Batik Ini Rekomended Banget Deh
Siapa sangka, di balik pesona parasnya, ia adalah mubalighah muda yang menemukan panggilan suci dalam melangkah di jalan dakwah.
TikTok, layar ponsel, dan kecepatan zaman milenial menjadi mediannya.
Terlepas dari usia, Ning Umi Laila menghadirkan hawa segar dalam setiap khutbahnya.
Bahkan di antara jamaah ibu-ibu, pesan-pesannya mengalir dalam balutan bahasa yang memikat
. Sebagai mubalighah, ia adalah bukti nyata bahwa penyampaian dakwah tak mengenal batas waktu dan usia.
Keunikan Ning Umi Laila juga tercermin dari peran gandanya sebagai munsyidah.
Lewat nadanya yang merdu, ia mengajak kita berkelana dalam syair-syair penuh makna, menemukan ketenangan dalam lantunan sholawat.
Ia adalah pelantun yang menenangkan jiwa, mengingatkan kita akan kebesaran Sang Pencipta.
Baca Juga:Rekomendasi Makanan dan Minuman Menu HokBenTutorial Memberi Warna Pada Tabel Microsoft Word
Lahir dari pasangan pendakwah, cinta dakwah tak pernah mencuri hatinya. Namun, takdir berkata lain.
Saat sang ibu jatuh sakit, Ning Umi Laila berdiri di persimpangan. Ia melangkah untuk mengisi pengajian ayahnya yang juga jatuh sakit.
Kepaksaan membawa bunga, karena dari sanalah bakat terpendam terkuak.
Dari pertarungan batin itulah, Umi menemukan panggilan sesungguhnya. Bersama sang ayah, mereka menyusun harmoni dakwah yang kian menggema.
Namun, kala sang ayah berpulang, Umi tak gentar. Ia membawa estafet kebenaran dengan tangannya sendiri, menempuh perjalanan dakwah tanpa pendampingan.
Umi, dengan mahkota ilmu di kepalanya, menghadapi dua peran besar: sebagai mahasiswa dan mubalighah.
Di sela kuliah dan berdakwah, ia merawat ibu yang sakit serta adik-adiknya. Tidak ada henti-hentinya mengatur waktu, mengatur jadwal, mengatur perasaan.
Namun, di situlah jiwa pemberian dan dedikasi sejati tumbuh.
Lewat semua rintangan dan cobaan, Umi menemukan cinta dalam dakwah. Ia tak lagi merasa terpaksa, melainkan terbiasa.
Melangkah di atas mimbar adalah panggilan jiwanya, membawa pesan-pesan yang menggetarkan.