“Manusia kaku” : Cakrawala Hikmah Kepemimpinan, Tujuan Pemimpin, Pemimpin Ber-tujuan
Oleh: Ridwan Marwansyah
(Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Sumedang)
sumedangekspres – Dalam aspek kehidupan serta didalam lingkup peradaban sangat butuh sosok yang dinamakan seorang pemimpin, yang mempunyai kompetensi, kemampuan, keterampilan, berkarakter, berintegritas dan berkualitas.
Karakteristik seperti yang dijelaskan tersebut perlu dimiliki oleh pemimpin agar dapat memberi arah dan pengaruh yang positif kepada kemaslahatan umat manusia.
Baca Juga:Baliho Ganjar-Mahfud Dicopot Penjabat (PJ) Gubernur Bali, Kenapa?Mahfud MD ‘Tidak Mau Mundur’ Dari Jabatannya Sebagai Menko Polhukam Meski Sudah Menjadi Cawapres, Ini Pernyataannya
Para pemimpin adalah para elite yang berada di pucuk piramida kekuasaan dalam bidangnya masing-masing, terkadang hadirnya pemimpin berpadu dengan mitos-mitos dan legenda yang melatarinya, semakin kharismatis dan punya privilege pemimpin, semakin tinggi kadar mitosnya.
Beda halnya dengan pemimpin dalam sudut pandang rasional, justru karena pemimpin adalah makhluk non-mitologis, maka berlakulah prinsip no one perfect.
Tidak ada manusia yang sempurna, demikian juga para pemimpin. Ada kalkulasi tersendiri dalam menilai sepak terjang seorang pemimpin.
Di indonesia telah banyak menganut sistem pemerintahan pada awalnya namun, dari semua sistem pemerintahan, yang bertahan mulai dari era reformasi 1998 sampai saat ini adalah sistem pemerintahan demokrasi.
Artinya, kebebasan berekspresi Sudah menempati ruang yang aman dan dilindungi payung hukum, sehingga setiap orang berhak menyampaikan pendapat kepada pemimpin.
Beda halnya jika ditarik ke dalam latar belakang historis bangsa ini misalnya, dalam masyarakat feodal Jawa, kritik atau protes itu dilakukan dengan berjemur di alun-alun, dengan harapan Raja sebagai pemimpin akan peka terhadap aspirasi mereka, walaupun hasilnya belum tentu efektif, karena kemungkinan besar Raja tidak menghiraukannya, atau misalnya dalam masyarakat feodal Sunda, yang hanya menempatkan seni kedalam unsur egaliter dalam kehidupan bermasyarakat, seperti contohnya tari Gembyung yang merupakan tarian tradisional Sumedang, yang dimana kesetaraan anatara penari dan siapapun penonton yang hadir pada saat itu berada di tempat pijakan atau panggung yang sama.
Yang artinya karakter Raja sebagai pemimpin pada saat itu adalah otoriter selain daripada yang berhubungan dengan kesenian. Tidak heran bilamana masih banyak pemimpin dari bangsa ini yang masih mempertahankan sikap otoriter karena, faktor culture historical pada peradaban masa lampau yang di bawa kedalam watak kepemimpinan masa kini, biasanya hal itu terjadi karena pemimpin tersebut masuk punya pemikiran yang tua (bukan usianya).