sumedangekspres – Perebutan Lahan Cijeruk Bogor Perusahaan dan Warga, Lahan di Cijeruk telah menjadi medan pertarungan antara PT Bahana Sukma Sejahtera (BSS) dan penduduk setempat.
Sengketa yang terus memanas ini telah menimbulkan ketidakpuasan yang mendalam di kalangan warga terdampak. Mereka merasa tidak didengar dan dipertanyakan keberadaan otoritas setempat yang seharusnya menyelesaikan masalah tersebut.
Perebutan Lahan Cijeruk Bogor
PT BSS dengan dasar Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 6 Tahun 1997, terus menerus melakukan aktivitas perataan tanah menggunakan alat berat tanpa memperhatikan dampaknya pada lingkungan dan masyarakat sekitar.
Baca Juga:Perbaikan Jalan Legok-Conggeang Bakalan Cepat SelesaiBocoran Telur Nyamuk Wolbachia Di Ujungberung Telah Disebarkan
Tindakan perusahaan ini menciptakan kegelisahan dan kekhawatiran di tengah masyarakat, terutama terkait pengusiran terhadap para penggarap dan penutupan usaha warga lokal.
Habib Alwi, salah satu tokoh masyarakat, menyoroti kekurangan perusahaan dalam mendapatkan izin yang sah dari seluruh warga terdampak.
Tidak adanya legitimasi yang jelas dalam tanda tangan persetujuan warga menjadi masalah serius. Ini menimbulkan ketidakpercayaan terhadap klaim perusahaan bahwa izin sudah diperoleh.
Namun, konflik ini bukan hanya soal izin semata. Warga juga menuntut keadilan dan partisipasi aktif dari pihak berwenang.
Mereka mengharapkan audiensi terbuka dengan berbagai pihak, termasuk Camat, Kepala Desa, dan perwakilan perusahaan.
Namun, kegagalan untuk menjembatani komunikasi antara pihak terlibat menambah ketegangan.
Tak hanya masalah hukum dan izin, dampak lingkungan dari aktivitas perusahaan juga menjadi sorotan.
Aktivitas alat berat di lahan PT BSS telah merusak mata air bersih yang vital bagi masyarakat setempat.
Baca Juga:Kenaikan Upah Minimum Kota Cimahi Tahun 2024 Sangat HebohMTQ di Kabupaten Sumedang Sangat Luar Biasa dan Meriah Dibuka Oleh PJ Bupati Herman Suryatman
Kondisi ini memperburuk kualitas air yang digunakan oleh masyarakat sehari-hari, terutama saat musim hujan.
Penawaran relokasi dan kompensasi dari PT BSS kepada penggarap lokal dianggap tidak cukup memadai.
Penawaran 100 meter lahan dan kompensasi uang ganti rugi Rp5 juta dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan dan kehilangan yang akan diderita oleh warga terdampak.
Selain itu, tidak adanya kepastian terkait status kepemilikan lahan yang baru semakin memperumit situasi.
Meskipun PT BSS mengklaim telah mendapatkan izin dari otoritas setempat, kepentingan masyarakat harus menjadi prioritas utama.
Kesejahteraan masyarakat, dampak lingkungan, dan keadilan harus diperhatikan secara serius dalam menangani konflik ini.