Setiba di keraton ketiga patih itu menceritakan kejadian itu ke Prabu Geusan Ulun. Mendengar berita hilangnya Embah Jaya Perkosa, Prabu Geusan Ulun bingung, dan memutuskan untuk memindahkan Kerajaan Sumedang Larang ke Dayeuhluhur.
Sementara itu, Patih Eyang Jaya Perkasa yang tiba kembali di Kutamaya, merasa heran karena keraton kerajaan sudah kosong. Waktu itu, Embah Jaya Perkasa melihat pohon hanjuang yang ditanamnya dahulu. Ternyata pohon itu tumbuh subur.
Dari situ Embah Jaya Perkasa merasa marah, dan ketika berpaling ke sebelah timur terlihat olehnya asap mengepul-ngepul di lereng gunung.
Baca Juga:Desa Dayeuhluhur Desa Wisata Alam dan Religi Terkenal di SumedangKarena Cinta, Perang Kerajaan Sumedang Larang dan Kesultanan Cirebon Pecah
Dan akhirnya ia menyusul ke Dayeuhluhur, Setelah sampai di Dayeuhluhur
Mbah Jaya Perkasa kemudian bertanya ke Prabu Geusan Ulun. Mengapa Gusti tidak melihat tanda yaitu pohon hanjuang yang hamba tanam dan dari siapa Gusti mendengar kabar bahwa hamba telah tewas. Mendengar jawaban Prabu Geusan Ulun demikian itu, Embah Jaya Perkosa marahnya kian menjadi-jadi.
Patih Eyang Jaya Perkasa kemudian meninggalkan Prabu Geusan Ulun sambil bersumpah tidak akan mau mengabdi lagi kepada siapapun juga.
Patih Eyang Jaya Perkasa berjalan ke puncak dan menancapkan tongkatnya dan disitulah Mbah Jaya Perkasa moksa atau ngahyang. Ditempat petilasanya terdapat batu dakon dan tongkat apung yang dikeramatkan tepatnya di Desa Dayeuhluhur Kecamatan Ganeas Kabupaten Sumedang.
Karena perangnya dengan Kesultanan Cirebon maka wisatawan yang akan berkunjung ke petilasan Eyang Jaya Perkasa tidak diperbolehkan untuk mengenakan pakaian batik.